Ironi KLHK: Hutan Dibabat Korporasi, Rakyat Dibebani Tanam Pohon

Ironi KLHK: Hutan Dibabat Korporasi, Rakyat Dibebani Tanam Pohon

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar kembali menuai kritik. Setelah dua pekan lalu mengatakan bahwa pembangunan tak boleh berhenti atas nama deforestasi, kini ia mengajak semua orang menanam minimal 25 pohon.

Gerakan menanam pohon ini sejatinya sudah tertuang dalam Instruksi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan INS.1/MENLHK/PDASHL/DAS.1/8/2017. Instruksi itu mewajibkan aparatur sipil negara (ASN) di KLHK untuk menanam 25 pohon dan mengajak peran serta masyarakat untuk menanam minimal 25 pohon seumur hidupnya.

Gerakan dan ajakan itu kemudian menjadi sorotan dalam situasi saat ini ketika Menteri Siti Nurbaya menyampaikan kembali melalui akun Twitter pribadinya pada 21 November 2021 sebagai ucapan memperingati hari pohon sedunia.

“Seumur hidup minimal tanamlah 25 pohon. Ditanam, dijaga, dan dirawat bersama. Bibit pohon bisa didapatkan secara gratis di berbagai lokasi persemaian permanen. Satu KTP bisa dapat 25 bibit pohon. Mari kita hijaukan bumi dan jaga terus lestari,” kata Siti Nurbaya.

Pernyataan menteri yang merupakan kader Partai Nasdem itu mendapatkan kritik dari sejumlah kalangan. Salah satunya adalah politikus Partai Demokrat Cipta Panca Laksana. Dalam akun Twitter pribadinya, ia menyebut pernyataan Siti Nurbaya itu hanya sebagai gaya-gayaan.

“Emangnya masih ada lahan Bu buat nanam pohon? Lagian Ibu yang kasih izin pemodal merambah lahan, sekarang beban menanam kembali Ibu suruh rakyat menanam. Ada-ada aja deh,” kata Panca.

Kolega Panca lainya juga memberikan kritik keras. Suhardi Duka, anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Demokrat saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan KLHK, Senin (22/11/2021) mengatakan soal bibit pohon gratis yang dijanjikan oleh Menteri KLHK itu tak sepenuhnya berjalan baik sesuai dengan alokasi anggaran.

“Kita tidak bisa percaya dengan janji alokasi anggaran untuk rakyat baik untuk kehutanan sosial, TORA [Tanah Objek Reforma Agraria], bibit produksi semua tidak ditepati alias bohong. Target yang selama ini dilaporkan bagus, faktanya di lapangan berbeda,” kata Suhardi dalam rapat yang dihadiri Sekjen KLHK Bambang Hendroyono.

Program-program yang tak berjalan itu yang menurutnya, kiwari telah menyebabkan bencana banjir di mana-mana. Ditambah lagi penegakan hukum untuk para korporasi pembabat hutan itu menurutnya masih mandul.

“Penegakan hukum yang merambah kawasan hutan baik pidana dan denda tidak mengalami kemajuan,” katanya.

Suhardi juga menyinggung soal pernyataan Siti Nurbaya dua pekan lalu yang menyebut bahwa pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi. Ia menilai pernyataan itu sesat.

“Menurut saya pertanyaan ini sesat, bagi seorang Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang notabene sebagai institusi yang selama ini diharapkan dapat menjaga fungsi kawasan hutan dan konservasi serta lingkungan hidup di Indonesia,” kata Suhardi.

Pembangunan, kata dia, dimaknai sebagai perubahan ke arah yang lebih baik. Proses pembangunan sendiri bukan merusak lingkungan atau dengan deforestasi.

“Yang merusak lingkungan selama ini adalah izin tambang, proses penambangan dan perkebunan korporasi itu yang melakukan deforestasi bukan pembangunan. Jadi jangan berlindung bahwa kerusakan hutan ini diakibatkan oleh pembangunan. Itu karena kesalahan pemberian izin atau pengawasan yang dilakukan oleh KLHK terhadap pelaku ekonomi yang saat ini menguasai, ada yang sampai 5 juta hektare. Ini tidak memberikan keadilan kepada rakyat,” ujarnya.

Rakyat Tak Dapat Keadilan & Menteri Tak Lagi Dipercaya

Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace untuk Indonesia, Kiki Taufik mengatakan, ajakan Menteri Siti Nurbaya untuk menanam, menjaga, dan merawat pohon sejatinya baik. Namun menurutnya pernyataanya dua pekan sebelumnya yang kontradiktif bahwa pembangunan tak boleh berhenti atas nama deforestasi telah menurunkan kepercayaan publik.

“Beliau sampaikan pembangunan tidak boleh berhenti atas nama deforestasi. Sehingga orang jadi enggak percaya. Benar nih? Sekarang mengajak menanam, kemarin ngomongnya berseberangan,” kata Kiki kepada reporter Tirto, Senin (22/11/2021).

Sudah sepatutnya memang seorang Menteri LHK mengajak masyarakat menanam dan menjaga, merawat. Namun ajakan itu menurutnya kurang, karena seharusnya juga ada ajakan untuk tak menebang pohon sembarangan dan ajakan menghentikan deforestasi.

"Jangan mengajak masyarakat [menanam, menjaga dan merawat pohon] tapi tetap memberi izin pelepasan kawasan hutan. Ini yang akhirnya menjadi kontroversi. Jadi orang enggak percaya,” kata Kiki.

Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Uli Artha Siagian mengatakan ajakan menanam pohon itu kini jadi seolah-olah, masyarakat diminta bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan oleh korporasi yang merambah hutan.

“Seperti itu membuktikan bahwa negara itu tidak memahami dan tidak mengetahui situasi di lapangan seperti apa. Rakyat tanpa disuruh oleh pengurus negara sudah melakukan penanaman. Selain mereka menjaga hutan yang menjadi bagian dari ruang hidup mereka, mereka juga melakukan pemulihan yang sebenarnya itu dirusak oleh orang asing, pemodal dan lainnya sebagainya,” kata Uli kepada reporter Tirto.

Ajakan pemerintah untuk menanam 25 pohon itu menurutnya juga menjadi ironi, sebab tak semua masyarakat memiliki lahan yang bisa ditanami.

“Mereka mau tanam di mana sedangkan tanah itu sudah habis di kapling oleh konsesi perusahaan,” katanya.

Kini menurutnya yang menjadi korban adalah rakyat. Ketika mereka yang tinggal dan menggantungkan hidup dari hutan kemudian dirampas ruang hidupnya untuk keperluan korporasi tambang dan kelapa sawit. Kemudian akumulasi dari aktivitas korporasi itu menyebabkan kerusakan lingkungan menimbulkan bencana ekologis seperti banjir yang saat ini terjadi.

“Jadi negara membuat rakyat menjadi korban berkali-kali. Seharusnya negara mendesak korporasi yang berkontribusi melakukan perusakan lingkungan itu bertanggung jawab memulihkan lingkungan dan memulihkan hak dari warga yang menjadi korban dari aktivitas mereka,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Walhi Zenzi Suhadi menambahkan, sampai Indonesia merdeka manusia nusantara telah menanam, merawat hutan dan mewariskannya kepada generasi sekarang. Dalam konstitusi diamanahkan ke negara untuk mengelolanya.

Namun konsep menanam merawat dan mewariskan itu menurutnya hanya dapat tumbuh bersamaan dengan keadilan.

“Bagaimana kesadaran dan semangat di rakyat akan tumbuh untuk menjalankan konsep tersebut, sementara mereka diwajibkan menanam, di depan mata segelintir orang kaya diperbolehkan membabat jutaan pohon yang selama ini dijaga dan atau ditanam oleh komunitas,” katanya. [tirto]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita