GELORA.CO -Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta memperberat hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dari 5 tahun menjadi 9 tahun penjara.
Alasannya, perbuatan Edhy, yaitu korupsi, telah meruntuhkan sendi kedaulatan negara.
"Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 9 tahun dan denda sebesar Rp 400 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan," demikian bunyi putusan PT DKI Jakarta yang dikutip dari website-nya, Kamis (11/11/2021).
Selain itu, Edhy diwajibkan mengembalikan uang yang dikorupsinya, yaitu Rp 9,6 miliar dan USD 77 ribu. Bila tidak membayar dalam waktu satu bulan sejak putusan inkrah, hartanya disita dan dirampas negara. Bila hartanya tidak cukup, diganti 3 tahun kurungan.
"Menjatuhkan pidana tambahan terhadap Terdakwa berupa Pencabutan Hak untuk dipilih dalam Jabatan Publik selama 3 tahun sejak Terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya," ucap majelis hakim yang diketuai Haryono.
Alasan hukuman Edhy diperberat adalah hukuman 5 tahun penjara tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat yang seharusnya ditangani secara ekstra dan luar biasa. Terlebih, Edhy adalah seorang menteri yang membawahkan Kementerian KKP telah dengan mudahnya memerintahkan anak buahnya berbuat hal yang menyimpang dan tidak jujur.
"Terdakwa telah merusak tatanan kerja yang selama ini ada, berlaku, dan terpelihara dengan baik. Terdakwa telah menabrak aturan/tatanan prosedur yang ada di Kementeriannya sendiri," ucap majelis yang beranggotakan M Lutfi, Singgih Budi Prakoso, Reny Halida Ilham Malik, dan Anthon Saragih.
Majelis juga beralasan tindak pidana korupsi digolongkan sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Sebagai konsekuensi Indonesia meratifikasi konvensi antikorupsi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006.
"Artinya, korupsi yang hanya diperangi dan menjadi musuh bangsa Indonesia tetapi juga menjadi musuh seluruh umat manusia," beber majelis.
Selain itu, tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara. Tetapi juga dapat meruntuhkan sendi-sendi kedaulatan negara.
"Karena sebagai seorang menteri yang merupakan pembantu Presiden sudah seharusnya memahami ketentuan dari Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yang menyebutkan 'Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat', kekayaan alam tidaklah bisa dengan mudahnya dapat dieksploitasi untuk kepentingan orang tertentu," cetus majelis.
Sebagaimana diketahui, KPK melakukan OTT terhadap Edhy sepulang dari Amerika Serikat pada akhir 2020. Edhy menerima suap terkait izin ekspor benur.(detik)