GELORA.CO - Seperti jutaan orang di penjuru dunia, Nafeesa Attari terpaku menatap layar televisi saat India menghadapi Pakistan dalam pertandingan pembuka Piala Dunia Kriket T20 Oktober lalu.
Guru di kota Udaipur India bagian utara itu turut menyaksikan kemenangan Pakistan atas India dengan poin 10 wicket, yang dianggap skor telak.
Beberapa hari kemudian, dia mendekam di sel polisi. Kejahatannya: memposting kegembiraannya atas kemenangan Pakistan lewat WhatsApp.
Dia termasuk beberapa orang Muslim di India yang ditahan atau dipenjara karena mendukung tim kriket Pakistan, sehingga ini mengundang kekhawatiran terkini atas kebebasan berekspresi dan berpendapat di India.
Kalangan pengamat berpendapat bahwa penahanan itu merupakan senjata terkini pemerintah India yang dikuasai kubu nasionalis Partai Bharatiya Janata (BJP) untuk menargetkan kaum minoritas Muslim - tuduhan yang telah dibantah keras oleh pemerintah.
"Jeeeet gayeeee… Kita menang," tulis Attari yang juga menyertakan foto tim kriket Pakistan dalam statusnya di WhatsApp.
Attari lantas dipecat dari pekerjaan dan kini ditahan berdasarkan Undang-undang Pidana India dalam pasal yang mengkriminalisasi "pernyataan yang merugikan persatuan nasional".
Dalam wawancara dengan stasiun televisi lokal, dia tampak sangat tertekan saat dia meminta maaf karena telah melakukan pelanggaran.
"Seseorang mengirim pesan [balasan ke status] saya, menanyakan apakah saya mendukung Pakistan. Karena pesan itu memiliki emoji dan ada suasana yang menyenangkan, saya berkata ya," kata Attari.
"Ini bukan berarti saya membela Pakistan. Saya warga India, saya cinta India."
Walau diperbolehkan pulang ke rumah dengan jaminan, bukan berarti ibu satu anak itu sudah lepas dari jerat hukum.
"Apa yang telah dilakukan polisi sama sekali salah. Bila seseorang membuat kesalahan atau bila tidak setuju dengan orang lain bukan berarti dia berbuat kriminal atau tidak nasionalis," kata pengacaranya, Rajesh Singhvi. "Ini bertentangan dengan konstitusi dan perundang-undangan kita."
Attari dilaporkan ke polisi oleh Rajendra Parmar, anggota kelompok nasionalis Hindu garis keras Bajrang Dal.
"Orang-orang ini harusnya pergi ke Pakistan. Kalian tinggal di India, cari nafkah di sini tapi merayakan kemenangan tim lawan," katanya kepada BBC.
Parmar tidak menyesal mengadukan Attari. "Ini harus jadi pelajaran baginya. Dia itu guru di sekolah. Pendidikan macam apa yang akan dia berikan kepada anak-anak?"
Komentarnya itu merasuk ke dalam permusuhan mendalam yang dirasakan banyak orang di India dan Pakistan terhadap satu sama lain, sejak kedua negara itu berdiri setelah berakhirnya pemerintahan kolonial Inggris pada tahun 1947.
Hubungan sangat tegang masih terjadi di Kashmir yang dikelola India, di mana pemberontakan melawan pemerintahan India telah berlangsung sejak akhir 1980-an.
Sekelompok mahasiswa kedokteran di Kashmir juga telah didakwa di bawah undang-undang antiterorisme yang ketat karena diduga membela tim kriket Pakistan.
Dalam sebuah rekaman video yang sudah beredar daring (online), seorang pria yang diduga adalah mantan anggota parlemen dari BJP, Vikram Randhawa, terdengar mengatakan para mahasiswa itu harus "dikuliti hidup-hidup" dan gelar akademik serta kewarganegaraan mereka harus dicabut karena melontarkan slogan-slogan pro-Pakistan di wilayah India.
Randhawa telah didakwa polisi atas ujaran kebencian dan telah ditegur BJP, yang meminta dia minta maaf dalam waktu 48 jam atas perkataannya itu.
Walau BJP menjauhkan diri dari ujaran-ujaran seperti itu, para politikus senior partai itu telah mengecam warga India yang mendukung Pakistan, dan beberapa mengatakan itu harus dianggap sebagai kejahatan.
Mantan pemain kriket yang kini jadi politikus BJP, Gautam Gambhir, mengatakan bahwa siapapun yang merayakan kemenangan Pakistan adalah tindakan "memalukan."
"Yang gembira atas kemenangan Pakistan tidak mungkin orang India! Kami mendukung putra-putra kita," cuitnya di Twitter.
Yogi Adiyanath, sekutu dekat Perdana Menteri Narendera Modi dan Menteri Utama di negara bagian terbesar India, Uttar Pradesh, kepada harian lokal mengatakan bahwa warga India yang merayakan kemenangan Pakistan itu harus didakwa dengan pasal penghasutan.
Peninggalan era kolonial, pasal penghasutan dikenakan bagi warga yang mengritik pemerintah. Banyak kalangan menilai aturan itu kian sering digunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat.
"Apa yang kita saksikan ini adalah bagian dari proses politik BJP dalam menghimpun dukungan warga Hindu dengan 'mengesampingkan' kaum Muslim," kata Amit Varma, pengasuh siaran podcast The Seen and the Unseen.
"Mereka menggunakan isu-isu yang telah membekas dalam perpolitikan kita selama puluhan tahun: pembantaian sapi, pernikahan Hindu-Muslim, dan bahkan warga India yang mendukung Pakistan."
"Isu-isu itu tidak ada substansinya. Mereka hanya isu-isu yang digunakan untuk melecut sentimen anti-Muslim yang, sayangnya, tampak meluas," katanya.
Namun seorang juru bicara senior pemerintah India mengatakan bahwa "tidak masuk akal" bagi siapa pun untuk mengatakan bahwa mengambil tindakan terhadap sejumlah kecil orang Muslim sama dengan menghukum jutaan orang yang menganut agama itu di negara tersebut.
"Mereka [yang ditahan] merayakan kekalahan India...setiap tindakan demikian berpotensi menggerakkan 'situasi hukum dan ketertiban', sehingga harus dicegah dengan segala cara," Kanchan Gupta, penasihat senior kementerian informasi. dan penyiaran, mengatakan kepada BBC saat dia membela penangkapan tersebut.
"Bila ada dua mahasiswa di sini, lima mahasiswa di sana, atau ada seorang guru memutuskan untuk melakukan hal yang provokatif dan berpotensi memicu masalah lebih lanjut, maka perlu diperiksa...dan diselidiki," katanya.
Keluarga dari sebagian besar mahasiswa itu yakin penahanan tersebut berlebihan.
Tujuh orang di Uttar Pradesh juga dituduh merayakan kemenangan Pakistan.
Menurut polisi, mereka menggunakan kata-kata yang tidak pantas dan berkomentar tidak nasionalis atas tim kriket India untuk mengganggu ketertiban.
Tiga dari mereka - Arshad Yousef, Inayat Altaf dan Shaukat Ahmad - adalah mahasiswa ilmu teknik suatu kampus di Agra dan kini dipenjara.
Para tertuduh itu pun sudah diskors dari kampus mereka dan kesulitan untuk mendapat pengacara.
"Kami tidak akan memberi bantuan hukum kepada para mahasiswa itu karena mereka merayakan kemenangan Pakistan saat tinggal di India," kata Nitin Verma, Ketua Asosiasi Pengacara Muda di Agra.
"Ini bertentangan dengan bangsa kita dan tidak nasionalis. Tugas kami untuk menentang mereka sehingga tindakan seperti itu tidak akan terulang lagi di masa depan."
Ini bukan kali pertama pertandingan kriket mengundang respons yang kuat.
Pada 2014, 60 mahasiswa asal Kashmir di Uttar Pradesh dituduh melakukan penghasutan karena membela tim Pakistan atas India. Tuduhan itu belakangan dicabut setelah ada rekomendasi hukum dari kementerian hukum.
Kriket selalu mendapat tempat yang besar bagi para warga India, namun survei dari Pew Research Center menemukan bahwa kini hanya sedikit mayoritas dari warga dewasa negara itu (56%) yang merasa penting untuk mendukung tim kriket nasional agar dipandang sebagai warga India yang sejati.
"Sejak kapan ada hukum yang menyatakan bahwa mendukung tim kriket lawan adalah kejahatan?" tanya Sharda Ugra, seorang jurnalis kriket dan pengamat sosial.
"Apakah orang asal India di Inggris dan Australia harus ditahan karena mendukung India? Ini jelas merupakan perpecahan agama yang disengaja yang diprovokasi kedua pihak."
Ada juga contoh lain yang mencerminkan situasi serupa.
Pada 2016, seorang warga Pakistan diketahui sebagai penggemar kapten kriket tim India, Virat Kohli. Dia ditahan setelah menaikkan bendera India sebagai penghormatan atas idolanya.
Bicara soal kriket, fanatisme memuncak di India dan Pakistan.
Namun, penahanan yang terjadi belakangan ini di India mengejutkan banyak pihak, yang merasa bahwa kebebasan berekspresi telah menurun pesat. (bbc)