Greenpeace Kritik Pidato Jokowi soal Iklim di COP26: Deforestasi Meningkat!

Greenpeace Kritik Pidato Jokowi soal Iklim di COP26: Deforestasi Meningkat!

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Greenpeace Indonesia mengkritik isi pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait perubahan iklim di KTT COP26 di Glasgow, Skotlandia. Greenpeace menilai Indonesia seharusnya bisa menjadi contoh bagi banyak negara berkembang untuk memutus ketergantungan terhadap energi kotor, mewujudkan nol deforestasi, serta tidak bergantung pada dukungan internasional.

"Sebagai bagian dari 20 ekonomi terbesar di dunia, dan 10 negara pengemisi terbesar, seharusnya Indonesia memimpin dengan komitmen ambisius dan aksi nyata untuk dekarbonisasi ekonominya. Yaitu dengan berkomitmen untuk mencapai karbon netral pada 2050, menghentikan dominasi batubara pada sektor energi, dan tidak menggantungkan diri pada perdagangan karbon yang merupakan solusi palsu terhadap krisis iklim," kata Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, dikutip dari situs resmi Greenpeace, Selasa (2/11/2021).

Ada sejumlah poin yang dikritik oleh Greenpeace Indonesia dalam pidato Jokowi. Pertama, terkait pernyataan deforestasi turun terendah dalam 20 tahun terakhir.

"Deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019). Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. Tren penurunan deforestasi dalam rentang 2019-2021, tidak lepas dari situasi sosial politik dan pandemi yang terjadi di Indonesia sehingga aktivitas pembukaan lahan terhambat," ujar Leonard.

"Faktanya dari tahun 2002-2019, saat ini terdapat deforestasi hampir 1,69 juta hektar dari konsesi HTI dan 2,77 juta hektar kebun sawit. Selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi di masa depan akan tetap tinggi. Deforestasi di masa depan, akan semakin meningkat saat proyek food estate, salah satu proyek PSN dan PEN dijalankan. Akan ada jutaan hektare hutan alam yang akan hilang untuk pengembangan industrialisasi pangan ini," sambung Leonard.

Poin lain yang ditanggapi Greenpeace Indonesia adalah kebakaran hutan yang disebut turun 82% pada 2020. Greenpeace Indonesia menyinggung fenomena La Nina.

"Penurunan luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2020 jika dibandingkan 2019 yang mencapai 296.942 hektare ini adalah angka kebakaran yang luasnya setara dengan 4 kali luas DKI Jakarta. Penurunan ini juga disebabkan gangguan anomali fenomena La Nina, bukan sepenuhnya hasil upaya langsung pemerintah," ujar Leonard.

Selain itu, Greenpeace Indonesia merespons soal rehabilitasi mangrove yang ditargetkan pemerintah.

"Rencana pemerintah untuk merestorasi hutan mangrove seluas 600.000 ha di tahun 2024 terdengar sangat hebat, tetapi jika dibandingkan luas hutan mangrove yang rusak di Indonesia yang telah mencapai 1,8 juta hektar, hal ini tidak ambisius mengingat hutan mangrove mempunyai fungsi ekologi yang sangat vital bagi kawasan pesisir yang saat ini sedang menghadapi ancaman krisis iklim," ujar Leonard.

Greenpeace Indonesia juga menyoroti soal pernyataan Indonesia telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara 2010-2019. Terkait hal itu, Greeenpeace mengungkap soal pergeseran area terdeforestasi.

"Capaian ini perlu dipertanyakan ulang mengingat terdapat peningkatan laju deforestasi di Indonesia dari yang sebelumnya 1,1 juta ha/tahun (2009-2013) menjadi 1,47 juta ha/tahun (2013-2017). Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. Walaupun ada klaim penurunan laju deforestasi dari pemerintah dalam 2 tahun terakhir, angka itu menjadi kurang berarti karena adanya pergeseran area-area terdeforestasi dari wilayah barat ke wilayah timur (Papua)," beber Leonard.

Ada beberapa poin lain yang juga disoroti Greenpeace Indonesia, di antaranya terkait sektor kehutanan dan lahan, sektor energi dan pengembangan mobil listrik, pemanfaatan energi baru, pembangunan kawasan industri hijau di Kalimantan Utara, hingga carbon market dan carbon price. Greenpeace menolak rencana penyeimbangan karbon atau carbon offset karena dinilai solusi palsu bagi iklim, yang hanya akan memindahkan tanggung jawab, dibanding penurunan emisi karbon secara langsung dan masif.

"Presiden Jokowi perlu menyadari bahwa 2 minggu ke depan dalam COP26 Glasgow ini akan sangat menentukan bagi keberlanjutan kemanusiaan kita. Indonesia perlu menunjukkan kepemimpinan yang nyata, melalui perubahan-perubahan fundamental pada sistem ekonominya yang dapat membantu untuk menghindarkan kita semua dari bencana iklim permanen di akhir abad ini," ujar Leonard Simanjuntak. (detik)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita