Oleh: Yusuf Blegur*
SAKING tidak ada lagi isu atau celah yang bisa dimainkan untuk menjatuhkan Anies Baswedan. PDIP dan PSI seperti memaksakan wacana Formula E untuk terus mendiskreditkan Gubernur DKI Jakarta.
Sudah hampir setahun ini, kedua partai politik di parlemen Kebon Sirih seperti ngotot, gigih dan pantang menyerah mengeksploitasi program balap mobil listrik yang akan diselenggarakan Pemprop DKI. Setelah kegagalan penggunaan hak interpelasi, pemeriksaan BPK yang clear dan pengerahan pendengung, influencer dan buzzer.
Bahkan hingga menggunakan jejaring dan kekuasaan politisnya membawa program Formula E ke KPK. PDIP dan PSI yang berkecamuk dendam dan nafsu menggusur orang nomor satu di balai kota itu. Tidak sedikitpun dapat memenuhi ambisi dan syahwat politiknya.
Anies bergeming dan tetap melanjutkan program Formula E. Justru dari sekelumit itu, Figur Anies banjir simpati dan dukungan baik dari warga Jakarta maupun nasional.
Seperti gajah di pelupuk mata tak tampak, namun semut diseberang lautan terlihat. PDIP dan PSI larut dalam emosi dan dikendalikan kedengkian yang berlebihan terhadap Anies.
PDIP dan PSI selalu abai, bahwa internal partainya termasuk yang paling sering terlibat korupsi, mengumbar janji yang tak pernah ditepati dan melahirkan kebijakan yang menindas dan menyengsarakan rakyat.
Kader-kader partai PDIP dan PSI yang sering bolak-balik berurusan dengan instrumen seperti KPK dan kejaksaan agung. Mulai dari korupsi bansos saat pandemi, korupsi E-KTP hingga sulitnya menemukan hilangnya Harus Masiku ditelan kasus suap KPU. Termasuk kehilangan semua jejak dan keterlibatan yang ada dalam kasus itu.
Begitupun dengan kegagalan pembangunan infra struktur baik karena mangkrak maupun sebab dibangun dengan utang yang mencekik rakyat, namun begitu saja dijual murah. Ada lagi kereta cepat Jakarta Bandung yang lambat pekerjaannya namun cepat membengkak biayanya. Juga soal banjir pun begitu, dari mulai Jawa Barat, Jawa Tengah hingga banjir Sintang Kalimantan Barat.
Semua kegagalan-kegagalan program pembangunan yang diikuti maraknya korupsi dan kerusakan alam seakan tak tampak dan tak ada dalam pengetahuan serta kesadaran mereka.
Padahal PDIP dan PSI merupakan partai politik dalam lingkar kekuasaan yang melaksanakan pembangunan dan menggerakan sebagian besar birokrasi pemerintahan di keseluruhan negeri. Kader PDIP begitu juga PSI seperti orang-orang yang sedang berlarian telanjang bulat di jalan, sembari teriak mengumumkan peraturan dan norma kesusilaan kepada masyarakat.
Bagai orang yang sedang mabuk alkohol dan narkotika, seakan percaya diri menasehati orang yang masih sadar dan sehat. Bagi PDIP dan PSI, tidak ada urusan yang lebih besar dari fenomema Korupsi dan extra ordinary crime lainnya yang melilit tubuh mereka sendiri, selain program Formula E.
Tak Berhenti Sampai Anies Bisa Dijegal
Sepertinya dan kecenderungannya perlu ada tes kejiwaan dan psikis bagi orang seperti Giring Ganesha yang Ketua Umum PSI dan Pasetyo Edi Marsudi yang kader PDIP sekaligus ketua DPRD DKI. Pasalnya, kedua orang ini begitu ngotot dan ngoyo mencari-cari kesahan Anies dalam program Formula E. Giring yang tumbuh dalam habitat keartisan, dianggap belum memiliki pengalaman dan kematangan dalam politik.
Begitu Juga dengan Prasetyo yang jejak rekam dan behaviornya politiknya biasa-biasa saja. Kelihatan sok tahu dan merasa lebih pintar dari Gubernur Jakarta yang sudah kenyang di dunia pendidikan dan birokrasi pemerintahan. Giring dan Prasetyo memang berani, tapi tak punya cukup akal sehat dan kemampuan wawasan kebangsaan yang mumpuni.
PDIP dan PSI yang hanya bermodalkan kekuasaan politik dan mungkin sudah lumayan menimbun kapital. Memaksakan hasrat dan target kepentingan politiknya, mendobrak mekanisme dan aturan struktur formal lainnya yang sudah ada dan berjalan dalam perencanaan Formula E.
Selain penegasan dari BPK dan Ketua MPR RI yang juga Ketua Ikatan Motor Indonesia (IMI). Bahwasanya sejauh ini tidak ada masalah dan tidak diketemukan penyalahgunaan uang negara. Bambang Soesatyo pun mempersilahkan proses hukum ditempuh namun kegiatan Formula E tetap bisa berjalan.
Selain itu, diperkuat juga dari Co-founder Formula E merangkap Wakil Formula E Operations (FEO), yakni Alberto Longo. Seperti yang dilansir tempo.co dan Jakarta (Antara). Alberto Longo membantah isu bahwa Jakarta adalah satu-satunya kota penyelenggara yang membayar commitmen fee. Beberapa kota di negara lain juga melakukan hal yang sama. Dalam jumlah pembiayaan Jakarta juga tidak lebih besar dari kota-kota penyekengara Formula E lainnya. Ia juga mengatakan bahwa sejauh ini tidak ada hal-hal yang menyalahi prosedur dari rencana dan proses kegiatan Formula E. Tidak ada klausul yang menyimpang, ujarnya.
Bahkan saat presiden dan pemerintah pusat mendukung pelaksanaan Formula E di Jakarta. Sebuah event yang mengangkat trust dunia terhadap Indonesia dan membuka peluang investasi yang sedang digenjot pemerintah pusat.
Belum mampu juga memulihkan kewarasan berpikir legislator PDIP dan PSI di kawasan Balai Kota. Formula E yang dimasalahkan secara politis bukan teknis, dieksplotasi PDIP dan PSI guna memuaskan syahwat politik keduanya di Jakarta. Ini sudah diluar batas fatsun politik dan keberadaban demokrasi. Dimana ambisi telah membunuh kewarasan politisi tanggung ala Garing dan Prasetyo.
Formula E juga tetap lebih rendah dan dianggap tidak istimewa ketimbang balapan WSBK Mandalika 2021 di Sirkuit Mandalika yang berbiaya besar juga dan dibangga-banggakan. Namun even dunia itu seketika diawal pembangunan, telah menjadi wahana air tempat bermain anak untuk bule-bule pembalap internasional. Banjirpun tumpah ruah ke tempat dan ajang olah raga dunia. Entah harus bilang menakjubkan atau memalukan bangsa?.
Jadi seperti biasa buat Anies. Tetap tenang, santun dan cerdas. Ketidakwarasan politisi kerdil dan picik jangan sampai membuat Jakarta jadi ikuti-ikutan edan.
Lagipula, banjir Jakarta juga sudah pindah ganasnya ke Jabar, Jawa Tengah hingga Sintang Kalimantan Barat. Begitu juga korupsi, semakin marak dan mewabah diluar birokrasi Pemprov DKI Jakarta.
Tetap lepas dan waspada dari kebuntuan politisi licik dan siasat jahatnya.
*(Penulis adalah pegiat sosial dan aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari)