GELORA.CO -Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menduga ada agenda terselubung di balik proses revisi UU 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Peneliti Formappi, Lucius Karus menduga revisi dilakukan untuk mengubah ketentuan soal masa jabatan Ketua BPK, Agung Firman Sampurna yang masa jabatannya akan berakhir tahun 2022 dan telah menjabat dua kali.
Selain Agung Firman Sampurna, kata Lucius, ada anggota BPK yakni Isma Yatun yang akan mengakhiri masa jabatan pada tahun yang sama.
Surat pemberitahuan akan berakhirnya masa jabatan Ketua BPK dan anggota BPK sudah masuk di DPR RI pada 18 Oktober 2021 dengan No: 159A/S/I/10/2021. Tetapi, sampai muncul rencana proses revisi UU BPK, surat tersebut belum jelas tindak lanjutnya
"Ini benar-benar sebuah mimpi buruk jika revisi UU BPK dilakukan cepat sementara tindak lanjut surat pemberhentian Agung Firman Sampurna dan Isma Yatun tidak diproses cepat," ujar Lucius Karus kepada wartawan, Senin (15/11).
Selain perpanjangan masa jabatan Agung Firman Sampurno sampai 2024, dibeberkan Lucius, revisi UU BPK juga menambah kewenangan BPK melakukan penyidikan.
Menurutnya, DPR RI sebaiknya segera menindaklanjuti surat pemberhentian dengan hormat dua anggota BPK yang berkahir masa jabatannya. Hal ini, lebih substansial dibandingkan membahas revisi UU BPK.
"Jika tindak lanjut surat itu tidak segera dipastikan dan di saat yang bersamaan ada upaya untuk melakukan revisi UU BPK secara cepat, maka itu akan mengonfirmasi bahwa revisi UU BPK yang direncanakan mendadak memang dibuat untuk kepentingan perubahan ketentuan soal lamanya masa jabatan anggota BPK," katanya.
"Suratnya itu kan sudah masuk di DPR RI maka harus prioritaskan tahapan pemilihan anggota BPK terlebih dahulu, agar tidak ada kecurigaan publik jika ngotot revisi UU BPK. Selain itu menurut aturan surat dari BPK harus ditindak lanjuti dulu," katanya.
Jika kecurigaan di atas benar adanya, masih kata Lucius, maka revisi UU BPK yang akan dilakukan dapat merusak kredibilitas BPK dan menjadi bukti bahwa aturan bisa dibuat untuk mengakomodir hasrat tertentu.
"Sulit membayangkan bagaimana sebuah UU diutak-atik hanya untuk menyalurkan nafsu dan kepentingan kelompok dan orang-orang tertentu saja," tegasnya. (RMOL)