Oleh: Yusuf Blegur*
SUDAH 6 presiden memimpin NKRI. 5 di antaranya merupakan orang Jawa. Hanya satu yang berasal dari luar Jawa, tepatnya Prof. Dr. Ing. BJ Habibie yang berasal dari Sulawesi.
Lepas dari segara kelebihan dan kekurangannya. Hanya ada dua orang presiden yang bisa dikatakan istimewa. Mereka adalah Soekarno dan Soeharto. Itupun sangat kental dengan kontroversi.
Ada pro dan kontra. Sesuatu yang manusiawi. Meskipun begitu, keduanya tetap pemimpin Indonesia yang besar dan mendunia. Dihormati dan disegani oleh kawan maupun lawan politiknya. Disanjung dan dipuja di dalam dan di luar negeri.
4 orang presiden setelah Soekarno dan Soeharto relatif adem ayem dan biasa saja memimpin Indonesia. Tidak terlalu menonjol prestasinya juga tidak tidak terlalu ekstrim kegagalannya. Setidaknya sampai sebelum presiden terakhir yang memimpin Indonesia.
Pemerintahan-pemerintahan yang normatif, sebelum Joko Widodo menjadi presiden hingga saat ini. Pemerintahan yang melewati masa orde lama dan orde baru itu terkesan tidak sepadan dengan kiprah dan catatan sejarah yang telah ditorehkan Soekarno dan Soeharto.
Presiden setelahnya dianggap rakyat tidak lebih baik dari Soekarno dan Soeharto. Soekarno dan Soeharto sepertinya telah menjadi orang pilihan dan ditakdirkan Tuhan untuk memimpin Indonesia yang baru lahir dan proses bertumbuh pada saat itu. Dengan segala kebesaran yang disandangnya, terkait prestasi dan kesalahannya. Termasuk hal-hal yang menakjubkan dan juga dosa-dosa politiknya.
Betapapun demikian, baik Soekarno maupun Soeharto, keduanya tetaplah pemimpin yang kharismatik. Apapun hal-hal yang negatif dan buruk pada mereka, rakyat dan lawan politik sekalipun, tidak pernah mengejek dan mengolok-olok. Apalagi sampai menghina.
Keseharian kepemimpinannya Soekarno dan Soeharto penuh kewibawaan. Disanjung dan dicintai rakyatnya. Kalaupun ada agitasi, propaganda dan hujatan. Itupun terjadi menjelang kejatuhan mereka. Lengsernya pemimpin suatu negara yang sarat konspirasi dari politik internasional dan lokal.
Hancurnya Kehormatan Istana Negara
Dalam era reformasi, seiring kuatnya partisipasi politik rakyat. Peran publik begitu responsif terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Terlebih saat dunia memasuki era digitalisasi. Di mana perkembangan teknologi komunikasi begitu pesat. Sejalan dengan itu, ruang publik dipenuhi keberlimpahan informasi. Rakyat begitu mudahnya mengakses dan mengelola informasi.
Saking kuatnya keterlibatan rakyat dalam konstelasi politik nasional. Pemerintah dalam menjalankan tata kelola negara, terasa dibanjiri oleh aspirasi, kritik dan bahkan gugatan publik. Rakyat benar-benar memanfaatkan kebebasan ekspresi dan menemukan wadah dan setiap celah saluran aspirasinya.
Dinamika publik yang sedemikian itu. Menghasilkan peran pengawasan dan evaluasi yang kuat terhadap jalannya pemerintahan. Saat rakyat melihat fakta gagalnya peran dan fungsi parlemen. Membuat publik semakin skeptis dan apriori terhadap institusi negara. Rakyat semakin terbuka dan lantang bersikap kritis.
Ketika jalur konstitusional tersumbat, aspirasi publik menyeruak ke jalanan. Suara menggema dan geliat aksi berserakan. Pun, media sosial mengemuka menjadi alternatif ruang demokrasi yang sejauh ini berhasil dilumpuhkan kekuasaan.
Pemerintahan dibawah kepemimpinan Jokowi seperti tak kehabisan waktu dibombardir aspirasi publik. Suara-suara rakyat yang sarat dengan gugatan dan perlawan itu kian menjadi-jadi. Menuntut kebenaran dan keadilan dari kepemimpinan Jokowi yang kadung dianggap pemerintahan boneka.
Pemerintahan kapitalistik yang sekuler dan liberal, oligarki, tirani dan segala macam sistem yang anti kesejahteraan rakyat. Kegagalan rezim kekuasaan dipelbagai aspek kehidupan. Bahkan oleh banyak kalangan sudah dianggap memasuki fase yang berbahaya dan beresiko menghancurkan kehidupan rakyat, berbangsa dan bernegara.
Bukan hanya tuntutan dan gugatan. Suara perlawanan rakyat itu telah menjelma menjadi bahan candaan, ejekan dan aktifitas mengolok-olok presiden dan jajaran pemerintahannya. Sumpah-serapah dan ungkapan yang menghina mengalir deras dalam media sosial dan percakapan keseharian rakyat. Sesuatu yang memang belum pernah terjadi pada presiden dan rezim kekuasaan sebelumnya. Miris memang, tapi apa boleh dikata.
Jokowi kini telah menjadi simbol betapa begitu rendahnya rakyat memperlakukan presidennya. Menggambarkan betapa lingkungan istana sudah tidak dianggap sesuatu yang sakral. Tampilan rezim kekuasaan secara bertubi-tubi mengalami perlakuan sinis publik yang menohok.
Mulai dari perumpaan binatang seperti diksi kecebong dan kodok, boneka pinokio hingga raja pembohong dan raja hutang menyemat pada sosok Jokowi. Semua hal-hal yang merendahkan dan menista terlontar publik menghujam keberadaan dan eksistensi Jokowi dan rezimnya selama 7 tahun ini.
Mungkin ini telah menjadi bola pantul yang dilempar oleh kekuasaan pemerintahan Jokowi. Diarahkan pada rakyat namun berbalik ke diri sendiri. Perlakuan yang menindas dan dzolim pada rakyat berbuah ketidakpercayaan dan perlawanan rakyat. Merendahkan agama sembari menidas rakyat khususnya umat Islam, terpatri dalam sanubari yang tak akan pernah terhapus.
Semua kebohongan Jokowi yang melegenda itu pada akhirnya menistakan Jokowi sendiri. Menghancurkan dengan sendirinya kepribadiannya yang selama ini rapuh karena dibangun di atas dasar pencitraan. Jokowi juga menjadi representasi runtuhnya kewibawaan istana.
Mengejek dan mengolok-olok Jokowi apalagi sebagai presiden bukanlah hal yang baik dan beretika. Akan tetapi, rakyat juga tidak bisa disalahkan begitu saja. Untuk menghindari kontroversi dan polemik. Lebih baik ambil solusi kongkrit. Segera meminta rakyat berhenti mengejek dan mengolok-olok presiden.
Demikian pula dengan Pak Jokowi. Agar tidak terus menerus menjadi bahan ejekan dan penghinaan. Sebaiknya Jokowi mundur dari jabatan presiden. Sehingga presiden dan istana tetap terhormat dan berwibawa di hadapan rakyat.
(*Penulis adalah pegiat sosial dan aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari)