GELORA.CO - Tahun depan, dompet negara dipastikan masih tekor. Tekornya juga tidak sedikit: Rp 868 triliun. Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan harus putar otak bagaimana nambalnya.
Soal tekornya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 itu, dikatakan Sri Mulyani saat konferensi pers Penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Daftar Alokasi Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) 2022, kemarin.
Kenapa tekor? Menurut Sri Mulyani, pemerintah mematok penerimaan negara 2022 sebesar Rp 1.846,1 triliun. Penerimaan itu terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 1.510 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 335 triliun, dan hibah Rp 0,6 triliun.
Sementara belanja negara tahun depan dipatok tembus Rp 2.714,2 triliun. Rinciannya: belanja pemerintah pusat mencapai Rp 1.944,5 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) Rp 769,6 triliun.
“Tahun depan, kita masih mengalami defisit sebesar 4,85 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto) atau Rp 868 triliun,” beber Sri Mulyani.
Angka defisit tersebut bisa berubah. Sebab, target penerimaan tahun depan belum menghitung dampak dari pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disebutnya, bakal meningkatkan basis penerimaan pajak.
Sekadar informasi, lewat UU tersebut, pemerintah berencana memperluas basis pajak, memberi insentif fiskal secara terukur dan selektif, memperbaiki sistem logistik nasional, dan mengoptimalkan pendapatan dari Sumber Daya Alam (SDA) saat harga komoditas melambung.
Sri Mulyani berharap, implementasi UU HPP bisa melebihi target yang ditetapkan, baik dari pajak dan kepabeanan. Penerimaan perpajakan tahun 2022 dipatok Rp 1.510 triliun, terdiri dari penerimaan pajak Rp 1.265 triliun dan kepabeanan Rp 245 triliun.
Ia berharap, rasio penerimaan pajak meningkat hingga mencapai 10,14 persen dari PDB pada 2025. “Target penerimaan pajak dan kepabeanan kemungkinan bisa dilewati di atas target. Namun, kita tetap akan akselerasi reform pajak, karena tugas kita untuk menyehatkan ekonomi, masyarakat, dan APBN,” tuturnya.
Begitu juga dengan penerimaan negara dari sisi PNBP. Sri Mulyani yakin, target PNBP tercapai, lantaran target lebih kecil dibanding realisasi tahun ini. Realisasi PNBP tahun 2021 didukung lonjakan harga komoditas.
“Ini tidak berarti kemudian kita tidak waspada. Karena harga komoditas tidak bisa berjalan secara jangka panjang dan sering terjadi volatilitas,” terangnya.
Di sisi lain, sasaran pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia tidak berubah dengan yang tertera dalam APBN 2022. Pertumbuhan ekonomi ditarget 5,2 persen, inflasi 3 persen, nilai tukar rupiah Rp 14.350 per dolar AS, suku bunga SBN 10 tahun 6,8 persen, harga minyak 63 dolar AS, lifting minyak 703.000 barel per hari, dan lifting gas sebesar 1,36 juta barel per hari.
Anggota Komisi XI DPR, Hendrawan Supratikno tidak kaget, kocek negara masih tekor tahun depan. Namun, ia memprediksi, defisit akan terus turun sampai di angka normal, yakni 3 persen dari PDB.
“Idealnya, tentu APBN yang surplus. Namun, dalam catatan kita, kita sudah terbiasa defisit sejak Orde Baru. Jadi, kita sudah terbiasa dengan fakta besar pasak dari pada tiang,” kata Hendrawan saat dihubungi, tadi malam.
Instrumen jangka pendek untuk menambal defisit adalah dengan utang. Pemerintah bisa menarik utang luar negeri dan dalam negeri. Catatan Hendrawan, porsi utang dalam negeri sekitar 70 persen. Instrumennya, SBN dibeli oleh perbankan, dana pensiun, dan berbagai investasi lainnya.
Bagaimana dengan UU HPP seperti yang diharapkan Sri Mulyani? Hendrawan pun meminta, agar pemerintah tidak berharap banyak dari aturan main tersebut. Karena, menurutnya, UU HPP belum bisa terlalu signifikan.
Peneliti Indef, Sugiyono Madelan justru menilai, defisit Rp 868 triliun itu menyalahi rencana penanganan pandemi yang ditargetkan berakhir tahun depan. Sekalipun ada risiko varian Omicron sekarang ini.
Seharusnya, kata dia, pemerintah sadar dan mengurangi besaran defisit APBN dibandingkan tahun 2021. “DPR seharusnya bertindak kritis terhadap kemampuan dari pemerintah dalam membayar utang negara dan utang BUMN infrastruktur. Agar sesuai dengan kemampuan dalam berutang,” pesan Sugiyono.
Saat ini, memang pemerintah bisa menambal defisit itu dari beberapa hal. Seperti realisasi Surat Utang Negara, memperbesar perolehan rasio pajak, menaikkan dividen BUMN, melakukan rasionalisasi subsidi, melakukan tax amnesty lanjutan, dan menjual konsesi barang publik seperti infrastruktur yang belum balik modal.
Sugiyono memprediksi, kehadiran UU HPP akan berdampak besar. Namun dengan syarat, diikuti meningkatnya sikap-sikap kritis dari para wajib pajak terhadap kinerja pemerintah. [rm]