Anak Buah Akui Tak Hati-hati Ingatkan Luhut soal Konflik Kepentingan GSI

Anak Buah Akui Tak Hati-hati Ingatkan Luhut soal Konflik Kepentingan GSI

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO -Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Kemaritiman dan Investasi (Marves), Septian Hario Seto, menjelaskan duduk persoalan hingga Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dituding terlibat bisnis PCR. 

Septian mengungkapkan, hal itu bermula saat Covid-19 melanda Indonesia.
Septian yang saat itu baru diangkat menjadi Komisaris BNI mendapat fasilitas tes PCR. Di situlah dia baru mengetahui bahwa biaya tes PCR sangatlah mahal, yakni berkisar Rp 5-7 juta per orang dengan jangka waktu 5 hari.

Berkaca dari pengalaman itu, Septian pun berpikir bahwa masalah harga dan jangka waktu tes PCR ini harus diperbaiki. Sebab, tes PCR yang terbatas akan membuat penanganan pandemi di Indonesia keteteran. Karena itu lah, dia lantas melaporkan situasi tersebut ke Luhut.


"Tanpa berfikir panjang, saya lapor ke Pak Luhut situasi yang ada pada waktu itu. Saya sampaikan, kita harus bantu soal test PCR ini. Kalau mengandalkan anggaran pemerintah, akan butuh waktu lama untuk bisa menambah kapasitas PCR ini, dari proses penganggaran, tender, sampai kemudian sampai pembayaran. Saya cukup yakin soal ini berdasarkan pengalaman 5 tahun lebih di pemerintahan," tutur Septian dalam keterangan tertulis, Senin (8/11/2021).

Luhut pun tergerak. Septian mengatakan, saat itu Luhut langsung memintanya untuk mencari alat tes PCR untuk didonasikan ke fakultas kedokteran di beberapa kampus. Luhut bahkan merogoh koceknya sendiri untuk membantu membeli alat tes PCR tersebut.

"Di sinilah kemudian proses pencarian PCR ini kita mulai. Saya kontak dekan FK UI, Unpad, UGM, Unair, Undip, Udayana, dan USU. Saya mengirimkan WA kepada mereka dan menjelaskan maksud dan tujuan saya untuk mendonasikan alat PCR ini. Beberapa ada yang merespon dengan cepat, namun beberapa ada yang tidak merespon sama sekali, mungkin dianggapnya prank kali ya," kata dia.

Berdasarkan hasil komunikasi dan diskusi dengan akademisi, akhinya pihaknya memutuskan untuk membeli alat tes PCR dari Roche. Order untuk alat PCR Roche kemudian dilakukan di akhir Maret 2020.

Dalam perjalanannya, dia bertemu dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang saat itu menjabat sebagai Wakil Menteri BUMN. Septian mengatakan, Budi saat itu diperintahkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir guna mencari alat PCR untuk rumah sakit BUMN.

"Jadi dibandingkan nanti kita rebutan alat PCR, saya menawarkan ke Pak Budi supaya kita pesen bareng-bareng ke Roche, sehingga ordernya bisa lebih besar dan harapannya tentu saja kita bisa nawar harga yang lebih baik," ungkapnya.

Akhir April 2020, alat PCR mulai tiba di Indonesia dan didistribusikan ke fakultas kedokteran. Namun, masalah tak berhenti di situ. Ternyata, alat tersebut tidak bisa langsung digunakan lantaran harus menunggu reagen PCR datang. Hingga awal Mei akhirnya reagen PCR datang.

Masalah lainnya kemudian datang. Septian mengatakan, laboratorium PCR membutuhkan VTM (Viral Transport Medium) untuk menampung hasil swab yang akan mendeaktifkan virusnya sebelum kemudian bisa dilakukan ekstraksi RNA.

Singkat cerita, akhirnya semua alat terpenuhi. Namun, saat itu karena proses ekstraksinya masih manual, masing-masing laboratorium paling hanya bisa melakukan 100-200 test per hari. Jauh dari target yang diminta yaitu 700-1000 test per hari.

"Masalah kemudian muncul karena alat ekstraksi RNA yang kita pesan dari Roche tidak bisa didapatkan. Kalau tidak salah karena suplai barangnya sangat terbatas dan diperebutkan oleh negara-negara lain juga. Kita waktu itu memutuskan untuk cari merek lain. Setelah tanya-tanya dari masing-masing lab, dapatlah rekomendasi merek Qiagen dari Jerman. Kita pesan barangnya, namun ternyata mereka tidak bisa memenuhi reagennya. Alat ekstraksi RNA ini memang menggunakan closed system, artinya hanya bisa digunakan dengan reagen yang diproduksi mereka sendiri," papar Septian.

Septian dan rekan-rekannya pun memutar otak untuk mencari RNA. Akhirnya, ditemukan alat ekstraksi RNA di Tiongkok yang harganya lebih murah. Bahkan, di luar dugaan alat tersebut bekerja cukup baik. Septian mengungkapkan, alat ekstraksi RNA itu mudah digunakan, dan bisa melakukan ekstraksi dalam waktu 1 jam. Reagen PCRnya pun ternyata memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan yang beredar dipasaran pada waktu itu.

"Dengan suplai dari Tiongkok ini, kita bisa memberikan donasi lebih banyak alat PCR dan ekstraksi RNA kepada lab-lab kampus itu. Awal Juni, barang-barang ini mulai datang ke Indonesia," ujarnya.

Bahkan, kata Septian, berkat suplai baru dari Tiongkok itu, donasi donasi Luhut dan kawan-kawan yang mulanya hanya cukup untuk 10 ribu tes untuk masing-masing laboratorium bisa bertambah hingga 50 ribu per laboratorium.

"Mengapa sih saya cerita panjang lebar seperti di atas? Pertama, saya ingin menceritakan kepada teman-teman bagaimana susahnya situasi dan keterbatasan test PCR saat itu. Kedua, banyak pihak yang bergotong royong untuk membantu pemerintah meningkatkan kapasitas PCR saat itu. Kementerian BUMN, melalui perintah Pak Erick dan Pak Budi Sadikin, membeli cukup banyak alat PCR saat itu. Lalu Pak Luhut dan teman-temannya juga memberikan donasi yang nilainya cukup besar untuk meningkatkan kapasitas PCR di banyak fakultas kedokteran di Indonesia, dan saya yakin banyak pihak lain yang juga berusaha keras untuk membantu dengan berbagai cara supaya kapasitas test covid19 melalui PCR di Indonesia pada waktu itu bisa ditingkatkan. Kami tidak ada memikirkan untung-rugi waktu itu," jelas Septian.(detik)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita