GELORA.CO -Ketua Panja Mafia Tanah Komisi II DPR Junimart Girsang mengungkapkan setidaknya ada lima poin yang menjadi catatan buruk Kementerian ATR/BPN di bawah kepemimpinan Sofyan Djalil.
Buruknya kepemimpinan Sofyan Djalil itu menyusul adanya konflik pertanahan antara masyarakat dengan para pengusaha.
Hal ini diakibatkan oleh pemberian ijin Hak Guna Usaha (HGU) serta Hak Guna Bangunan (HGB) kepada para pengusaha oleh Kementerian ATR/BPN yang kerap kali mengesampingkan hak hukum atas tanah masyarakat.
Yang pertama, kata Junimart, penyebab sertifikasi PTSL bermasalah, karena pengukuran melibatkan pihak ketiga. Dalam hal ini surveyor yang ditunjuk lewat lelang pekerjaan oleh BPN Pusat.
Junimart mengatakan, bagaimana caranya mengukur validitas pengukurannya jika dilakukan semi ilegal dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
“Karena dilakukan oleh pihak ketiga yang mana kontrol kwalitas pekerjaan pihak ketiga tidak mempunyai kekuatan hukum (Rechtkadaster). Bahkan ada oknum pengukuran yang melakukan pengukuran tanah cukup di atas meja seperti potong tahu,” tegas Junimart, Rabu (20/10).
Catatan kedua, lanjut Junimart, seleksi pejabat eselon III dan II di lingkungan Kementerian ATR/BPN selama ini berlangsung sangat diskriminatif. Bahkan ia memandang cenderung KKN.
Informasi yang ia ketahui, dijelaskan politisi PDIP itu banyak ASN yang memenuhi syarat tetapi tidak bisa menduduki jabatan strategis bahkan sebaliknya.
Imbasnya, jelas Junimart, sistem pemilihan seperti itu akan menyuburkan mafia tanah. Sebab, Sebagai akibatnya para kepala kantor di tingkat daerah Kabupaten/Kota dan kepala kantor wilayah di tingkat Provinsi.
"Pada akhirnya tidak berani menindak para mafia tanah di daerah masing-masing sebagaimana yang diinginkan presiden Jokowi. Dengan alasan memilih aman demi jabatan mereka, sebaliknya para kepala kantor yang ingin menumpas mafia tanah, malah tidak diijinkan,” katanya.
Yang ketiga, keberadaan Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra, selama ini dinilai kurang bekerja menjalankan landreform dan penanganan konflik agraria.
Argumentasi Junimart, selama satu tahun terakhir pengukuran ulang terhadap konflik HGU tidak pernah terealisasi.
Catatan keempat, marak sekali buku tanah atau warkah pendaftaran tanah yang hilang. Padahal, kata Junimart, hal warkah itu kumpulan berkas penerbitan sertifikat tanah yang disimpan oleh BPN.
"Ketika barang berharga itu hilang akibatnya kepastian sertifikat tidak terpenuhi, dan ironisnya lagi banyak sertifikat tanah terbit yang lokasinya tidak bisa ditemukan,” imbuhnya.
Catatan terakhir dari Junimart, Kementerian ATR/BPN dianggap lebih memprioritaskan program pemberian Sertifikat Tanah Gratis atau PSTL yang tidak sesuai sasaran dibandingkan dengan pemberian sertifikat tanah Redistribusi kepada para petani penggarap atas lahan yang dibagikan oleh negara sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961.
"Sertifikasi redistribusi terhambat, karena Kementerian ATR/BPN lebih memprioritaskan PSTL dari pada Redistribusi," jelasnya.
Atas dasar penjelasan itu, Junimart menyakini, Kementerian ATR/BPN di bawah kepemimpinan Sofyan Djalil gagal menjalankan program pertanahan Presiden Jokowi.
"Ditambah lagi keluhan masyarakat tentang sistem pelayanan Badan Pertanahan untuk pengurusan sertifikasi. SOP nya yang tidak berjalan, pengamatan saya berdasar croscek lapangan Menteri ATR/ BPN ini asbun saja,” demikian Junimart.(RMOL)