Sukses Menjadi Negara Gagal

Sukses Menjadi Negara Gagal

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


Oleh: Yusuf Blegur*
SETELAH 76 tahun menjalani kemerdekaan yang penuh ketidakpastian. Negara dan bangsa Indonesia saat ini, benar-benar mengalami masa-masa puncak penindasan dan kebiadaban.

Apa yang dulu ditentang, diperjuangkan dan dikorbankan untuk meraih kemerdekaan. Harus dibayar rakyat Indonesia dengan merasakan kembali kolonialisme dan imperialisme berwajah modern. Baik oleh bangsa asing dan aseng, maupun dari sebangsa dan setanah airnya sendiri.



Setelah perlahan namun pasti. Praktik-praktik kekuasaan mengubur hidup-hidup nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Kini pemerintah seakan memasuki babak baru dan tendensius. Melakukan serangan yang ofensif dan agresif terhadap agama khususnya Islam dan terkait eksistensi politiknya. Terlalu marak pelecehan, penghinaan, dan  penistaan terhadap agama, pemimpin dan umat Islam yang dibiarkan pemerintah.

Di lain sisi tangan besi kekuasaan, sangat responsif melakukan kriminalisasi para ulama dan gerakan kesadaran kritis lainnya. Strategi serangan yang begitu mematikan kepada kehidupan spiritual dan keagamaan serta tumbuh kembangnya demokrasi. Menjadi wajah dan ciri khas rejim pemerintahan sekarang. Orientasi dan kebijakan kekuasaan yang berbasis kebencian dan cenderung anti Islam.

Bahkan lebih bengis dari yang pernah dilakukan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, yang sekuler sekalipun.

Rakyat  dengan mata telanjang dan secara langsung merasakan sendiri bagaimana penjajahan masih berlangsung hingga saat ini.

Begitu banyak masyarakat harus mengalami kesengsaraan dan penderitaan hidup. Sementara bumi  tempatnya bernaung, berlimpah kekayaan alam dan semua yang dibutuhkan untuk menjadi negara kesejahteraan.  

Distorsi dan Kontradiksi

Harus diakui suka atau tidak suka, menerima ataupun menolak. Tampilnya kekuasaan yang lahir dari metode sihir massal dan rekayasa citra diri. Secara alami lewat perangai dan tingkah pola yang dilakukan. Seiring waktu menunjukan wajah asli dan karakter yang sesungguhnya.

Di balik kampanye, keluguan dan kesederhanaan yang menghipnotis. Berujung hanya pada janji-janji politik yang terbelengkalai, kalau tidak mau disebut rangkaian kebohongan dan kepalsuan.

Alih-alih melakukan pembangunan yang terkonsep, terukur dan berdaya guna bagi kehidupan rakyat. Pemerintahan yang terlanjur dikenal publik sebagai rezim boneka itu. Justru malah menghasilkan proyek-proyek mercusuar yang bertaburan utang menjulang, disfungsi alias tak berguna dan digerogoti keserakahan dan korupsi  disana-sini.

Mirisnya, proyek-proyek infrastrukur berbiaya besar yang dibanggakan dan dianggap simbol keberhasilan pemerintah. Pada akhirnya dijual murah sehingga merugikan negara. Begitupun BUMN yang terus merugi dan terancam dijual atau ditutup. Pemerintah yang digawangi orang-orang cerdas dan profesional itu.

Sepertinya tidak lebih hebat dari tukang gado-gado di pinggir jalan yang masih punya menejemen dan bisa mengelola keuangannya. Agar bisa survive dan dapat membiayai kehidupan keluarganya.

Selain ketidakmampuan leadership dan kecakapan menejemen. Rombongan kekuasaan yang ditandai dengan amburadulnya peran dan fungsi dalam tata kelola pemerintahan. Birokrasi sarat oligarki dan koncoisme mempertontonkan pemimpin-pemimpin yang planga-plongo, asbun, tidak tahu malu dan mata duitan.

Ada juga seorang menteri agama yang dipertanyakan kejelasan agamanya. Akan tetapi diluar compang-camping dan karut marut lingkaran istana. Tampil seorang pembantunya yang superior dan berkuasa penuh serta mengendalikan semua urusan. Tidak jelas ia sebagai bawahan atau yang membawahi. Mungkin beliau memang manusia super dari luar angkasa. Seperi Iron Man dalam komik Marvel. Akibatnya negara semakin tidak jelas dan terpuruk. Siapa yang dipimpin dan siapa yang memimpin.

Tidak adanya skala prioritas dan menjalankan roda pemerintahan secara ugal-ugalan. Hanya menunjukkan fakta pemerintahan yang tidak memiliki kapasitas (unqualified). Rakyat seperti mengalami “govermentless” dan “fail state”. Terasa saat ini dalam suasana penjajahan masa lampau.

Selama berkuasa hampir dua periode. Kekuasaan sekarang cenderung dapat diidentifikasi dengan tiga pola  determinasi.

Pertama, kinerja pemerintahan yang mengandalkan utang. Seakan negara tidak bisa berdiri tegak dan pemerintahan tidak bisa bekerja tanpa utang. Parahnya utang negara lebih banyak dipakai untuk proyek rente dan rawan korupsi. Kehidupan rakyat semakin tercekik karena penghapusan subsidi untuk membayar utang negara dan gaya hidup mewah pejabat. Sehingga negara dan rakyat harus menanggung beban berkepanjangan  hingga anak-cucu yang masa depannya pun tak jelas.

Kedua, menaikkan dan menggenjot pajak sebagai kemampuan terbaik kabinet kerja rezim. Upaya licik memungut pajak untuk menutupi kelemahan segaligus penyimpangan kebijakan birokrasi dalam soal keuangan negara. Terutama untuk dikorup dan membayar utang yang tak ada relasinya dengan kesejahteraan rakyat.

Inilah pemerintahan yang pernah ada dimana sudah tidak mampu menyejahterakan rakyat, masih tega menguras uang rakyat melalui pajak. Pemerintah tak bedanya dengan merampok uang rakyat secara halus dengan modus pajak. Sebuah cara memiskinkan bangsa dengan konstitusional. Kemiskinan struktural yang tak bisa dihindari dan ditolak rakyat kecil utamanya. Pemerintah bagai kompeni yang memungut upeti pada rakyat pribumi layaknya jaman kolonial.

Ketiga, kekerasan sebagai cara menangani persoalan bangsa terlebih dalam soal penegakan hukum.
Akhir-akhir ini, NKRI pantas menyandang gelar negara kekerasan. Kekerasan  kian rutin mewarnai kehidupan negara dalam berbagai aspek. Baik kekerasan yang dilakukan oleh struktur atau otoritas negara, maupun kekerasan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat ataupun sektor swasta khususnya dunia korporasi.

Semua kekerasan itu mengarah dan selalu menjadikan rakyat kebanyakan sebagai obyek dan korbannya. Tak peduli rakyat sudah sekarat karena pandemi. Belakangan mafia dan cukong yang bermetamorfosis dan berlindung dibalik korporasi besar. Secara terang-terangan dan arogan merampas tanah dan aset rakyat dengan kekerasan. Hebatnya, korporasi asing dan aseng itu melakukan kekerasan terhadap rakyat dikawal dan terkesan diback up aparat keamanan negara.

Aparat keamanan negara yang harusnya membela dan melindungi rakyat dalam memperjuangkan haknya. Kian bertindak sebagai anjing penjaga dan tukang pukul pemilik modal dan kekuasan. Sudah tidak bisa lagi membedakan intepretasi Substansi undang-undang dan kepentingan rakyat. Tanpa ragu melakukan kekerasan pada rakyat yang berjuang menuntut sekadar keadilan.

Rakyat sudah tidak bisa berkata dan berbuat apa-apa lagi. Rakyat juga  tak punya siapa-siapa lagi dan kekuatan untuk meminta perlindungan selain keadilan Tuhan. Aparat keamanan yang hakekatnya menjadi pelayan yang mengayomi dan melindungi rakyat. Justru berpikir dan bertindak sebaliknya.

Aparatur pemerintahan dan penegak hukum yang digaji dan dibiayai rakyat, menggunakan semua fasilitas itu untuk menindas rakyat.

Rakyat begitu tersontak saat tidak sedikit aparatur penegak hukum dan keamanan melakukan pelanggaran dan penyimpangan hukum. Bukan sekedar arogan, represif dan merugikan hak rakyat. Petugas-petugas negara itu melecehkan, memperkosa dan membunuh rakyat tak berdosa.

Bukan saja terhadap rakyat sipil, bahkan atasan dan pimpinan penegak hukum bisa melakukan kekerasan terhadap bawahannya sendiri. Sungguh perbuatan biadab dan memalukan. Cermin yang menampilkan wajah buruk negara bagi rakyatnya sendiri maupun dunia internasional.

Ini menjadi persoalan serius dan prinsip yang menentukan persfektif apakah negara ini memang masih perlu ada dan tetap dipertahankan. Apakah NKRI masih relevan dengan cita-cita dan tujuan proklamasi kemerdekaan? Kekerasan yang dilakukan oleh aparat baik kepada rakyat sipil maupun bawahan dinasnya.

Secara tidak sadar merupakan titik jenuh sekaligus pemberontakan baik dari rakyat maupun orang-orang dalam kekuasan sendiri. Mereka semua tak berdaya saat terjebak dalam sistem yang penuh distorsi dan kontradiksi.  Tak berdaya dan tak mampu melawan kerusakan sistem.

Mungkin kekerasan telah menjadi bahasa perlawanan. Kekerasan merupakan cara kontemplasi yang mudah dan bisa dilakukan. Terhadap sistem pemerintahan dan perilaku kekuasaan  selama ini yang tak kunjung mendatangkan kemaslahatan. Namun lebih banyak kemudharatan yang berlumur tragedi dan kedzoliman sehari-hari yang serba permisif.

Rakyat terus menyimpan tangisnya yang tersembunyi. Membiarkan lukanya dalam rongga dada. Berulangkali rakyat harus menahan amarah yang tersekat dalam duka haru biru.

Rasanya, rakyat harus hidup dengan kesabaran dan kekuatan yang tersisa. Saatnya menunggu kekuasaan Tuhan yang berbicara. Entah dengan menggunakan tangan manusia sendiri. Entah dengan menggerakan kekuatan alam. Entah dengan kebesaranNya melakukan intervensi pada negeri ini.

Rakyat harus menunggu, berharap dan bersangka baik pada Tuhan. Semoga hanya perbaikan dan pemulihan Indonesia yang dikendaki Tuhan Yang Maha Esa. Bukan penghancuran dan pemusnahan negeri tercinta.

Semoga.

*(Penulis adalah pegiat sosial dan altivis Yayasan Human Luhur Berdikari)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita