Sri Sebut Utang RI Tinggi karena Warisan Masa Lalu, Said Didu: 2004-2014 kan Menkeunya Sama

Sri Sebut Utang RI Tinggi karena Warisan Masa Lalu, Said Didu: 2004-2014 kan Menkeunya Sama

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Muhammad Said Didu tak terima jika Menkeu Sri Mulyani menyebutkan bahwa utang Indonesia tinggi karena akibat warisan masa lalu.

“Warisan masa lalu? Mari bicara data,” kata Said Didu, Rabu 27 Oktober 2021..

“Utang 2014 sktr Rp 2.600 trilyun. Utang saat ini Rp 6.700 trilyun. Dan yg menambah utang 2004 - 2014 dari sktr Rp 1.400 t menjadi sktr Rp 2.600 t setahu saya Menkeunya sama dg yg menambah dari 2014 - 2021 menjadi sktr Rp 6.700 t. Smg jelas,” terang Said Didu.

Sebelumnya diberitakan, warisan utang Indonesia dari masa lalu menjadi salah satu penyebab tingginya utang pemerintah saat ini. Hal itu disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Sri Mulyani mengatakan, lonjakan utang Indonesia tidak terjadi begitu saja. Menurutnya, utang Indonesia sudah parah sejak puluhan tahun lalu, dan memburuk saat krisis moneter tahun 1997-1998.

“Waktu ada krisis 1997-1998 dengan adanya bail out, makanya utang kita (negara) sangat tinggi karena obligasi. Jadi ujung-ujungnya adalah beban negara,” jelas Sri Mulyani dikutip dari Kontan, Rabu (27/10/2021).

Dia menjelaskan, saat itu banyak perusahaan dan perbankan yang meminjam dolar Amerika Serikat (AS), termasuk obligasi pemerintah.

Hal itu menjadi beban untuk Indonesia, sebab nilai tukar rupiah terus terkoreksi, mulai dari Rp2.500 per dolar AS sampai dengan sekitar Rp17.000 per dolar AS.

Selain lonjakan utang, kala itu pemerintah juga berusaha memberikan stimulus pada perusahaan agar tidak semakin banyak yang buntung dan menjaga keberlangsungan ekonomi.

Mantan dosen FE UI ini juga menjelaskan, kenaikan utang pemerintah ibarat dua sisi, bisa menjadi penggerak ekonomi. Sebaliknya, bisa menjadi beban apabila tidak dikelola secara baik.

Dilansir Kompas.com, ia menyebut, pengelolaan anggaran negara tak bisa dilepaskan dari utang. Utang pemerintah dipakai untuk menambal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Mengenai banyaknya masyarakat yang antusias membahas utang negara justru membuatnya gembira, karena bisa turut andil mengawasi penggunaan APBN.

“Sekarang semua orang ngurusin utang, semua bicara mengenai itu. Jadi it's good (bagus) kalau kita punya ownership (rasa memiliki) terhadap keuangan negara,” kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Terlebih lagi, Kementerian Keuangan rutin melaporkan penggunaan APBN setiap bulan kepada media massa dan masyarakat.

“Nah, kalau hari ini banyak orang yang melihat pada keuangan negara dengan sangat-sangat detail, itu saya senang banget. Kalau 1997-1998 enggak ada yang lihat APBN, dianggap take it for granted. Di 2008-2009 pun enggak ada yang lihat APBN,” ujarnya.

Saat ini total utang negara mencapai Rp6.625,43 triliun. Lonjakan utang pemerintah selalu jadi isu sensitif.

Utang pemerintah di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang terus mengalami kenaikan, baik di periode pertama maupun periode kedua pemerintahannya.

Artinya, lonjakan utang memang sudah terjadi jauh sebelum pandemi Covid-19. Dikutip dari laman APBN KiTa September 2021 yang dirilis Kementerian Keuangan, utang pemerintah per Agustus 2021 tersebut naik dibandingkan sebulan sebelumnya, yaitu utang per Juli 2021 sebesar Rp6.570,17 triliun.

Dengan kata lain, dalam sebulan, pemerintah Presiden Jokowi sudah menambah utang baru sebesar Rp55,26 triliun. [netral]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita