GELORA.CO - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini kembali diserang dengan isu ‘taliban’, karena adanya bendera mirip Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang pada saat 2019 lalu berada di lantai 10 Gedung Merah Putih KPK. Mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan turut mengomentari hal tersebut.
Menurut Novel, isu tersebut merupakan framing yang dilakukan secara sistematis untuk menyerang kerja-kerja pemberantasan korupsi.
“Semakin jelas, upaya framing ini begitu sistematis dengan agenda menyerang upaya pemberantasan korupsi,” kata Novel dalam cuitan pada akun media sosial Twitter pribadinya, Selasa (5/10).
Novel memandang, upaya framing tersebut merupakan skenario sekaligus fitnah. Dia memandang, framing tersebut sengaja dibuat untuk mengaitkan dengan para pegawai yang dipecat dengan dalih tidak memenuhi asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK).
“Ini tidak wajar dan pasti ada pihak-pihak yang sengaja membuat skenario, sekaligus menyebarkan fitnah dengan mengkaitkan sebagai pembenaran penyingkiran pegawai KPK dengan alat TWK,” sesal Novel.
Hal senada juga disampaikan, mantan Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono. Menurut giri narasi taliban yang didengungkan tersebut seharusnya tidak lagi dimainkan oleh para pendengung.
“Narasi usang lewat para pendengung, menggunakan upaya deligitimasi diskursif taliban. Nggak usah diperpanjang isu ini karena usang, kesenengan kalau direspon,” respon Giri melalui akun media sosial Twitter pribadinya.
Sebelumnya, mantan pegawai KPK Ita Khoiriyah menjelaskan foto bendera mirip HTI itu disebarkan oleh seorang pria bernama Iwan Ismail yang mengaku mantan petugas keamanan KPK. Menurut Ita, Iwan merupakan pegawai tidak tetap (PTT) yang ditempatkan di bagian pengamanan rumah tahanan (Rutan) KPK.
“Tugas yang diemban adalah pengamanan terhadap tersangka dari rutan KPK atau rutan lainnya selama menjalani penanganan perkara (pemeriksaan, persidangan dan eksekusi). Sehingga dia memiliki akses yang terbatas dan khusus untuk bisa memasuki ruangan-ruangan di KPK,” papar Ita, Minggu (3/10).
Menurut Ita, sistem pengamanan di KPK memang sangat ketat dan dibatasi. Dia mengutarakan, ada pembagian akses yang ditentukan berdasarkan kewenangan tugas yang dimilikinya.
Berdasarkan pernyataan Iwan, lanjut Ita, foto ruang kerja yang tersimpan bendera HTI di lantai 10 ruang kerja penuntutan diisi oleh para Jaksa yang ditempatkan atau dipekerjakan KPK. Dia menegaskan, Iwan ini tidak memiliki akses masuk keruangan tersebut.
“Lantas dari mana mas Iwan tahu ada bendera terpasang dan memiliki akses untuk masuk ruangan tersebut? Mas Iwan bilang sedang berkeliling cek ruangan, sedangkan tugasnya sendiri ditempatkan di rumah tahanan,” cetus Ita.
“Mas Iwan bilang kalau akibat foto bendera tersebut viral, dirinya diperlakukan seolah-olah seperti tersangka. Mungkin Mas Iwan belum tahu atau mungkin lupa bahwa pekerjaan KPK berkaitan dengan hal-hal yang confidential (rahasia). Sehingga banyak aturan baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang membutuhkan kebijaksanaan dalam bersikap sehari-harinya,” imbuhnya.
Ita menyebut, ruang kerja tim penindakan hanya diakses terbatas, maka foto-foto yang beredar pun di dalamnya sangat dikontrol. Tidak semua ruangan diperbolehkan ambil foto-foto. Bahkan, yang perlu digaris bawahi adalah bukan karena viralnya foto tersebut Iwan diberhentikan.
“Tapi karena foto tersebut disebar ke publik tanpa ada klarifikasi, tanpa ada penjelasan dan dalam pemeriksaan Pengawas Internal ditemukan pelanggaran etik, bahkan Mas Iwan sendiri melakukan dengan sengaja framing bahwa bendera tersebut bukti bahwa ada Taliban di KPK,” pungkasnya.[jawapos]