GELORA.CO - Rocky Gerung mengatakan ada sejumlah kekonyolan dalam dunia perpolitikan Indonesia, khususnya terkait calon presiden di 2024. Salah satunya, menurutnya, berupaya menaikkan elektabilitas Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Ketua DPR Puan Maharani merupakan hal yang konyol.
Hal itu disampaikan Rocky Gerung dalam 'Memprediksi Kemunculan Capres Ala Pembagian Wilayah Penanganan Covid (Jawa Bali - Non Jawa Bali)' yang digelar KedaiKOPI, Jumat (15/10/2021).
Rocky Gerung mulanya bicara soal perbincangannya dengan kaum milenial di Indonesia dan beberapa negara. Dia mengatakan para kaum milenial itu heran atas isu-isu politik yang ramai di Indonesia.
"Saya berdiskusi dengan kaum milenial. Mereka mendengar kekonyolan-kekonyolan dalam politik kita, banteng vs celeng. Dia bingung," katanya.
Padahal, kata Rocky Gerung, para kaum milenial ingin tokoh-tokoh politik unjuk gigi dalam hal akademis. Misalnya terkait dengan society 5.0 yang membahas gender equality hingga human rights.
"Padahal kami milenial yang 2024 nanti akan memilih mau lihat pertengkaran akademis di dunia politik Indonesia sama seperti pertengkaran di luar negeri. Soal gender equality, new kind of economy. Kok kita nggak denger ya Puan ngomong itu. Om yang rambutnya kayak bintang film putih itu, Ganjar Pranowo, ngomong itu. Kok kita nggak lihat Kang Emil ngomong itu," tutur Rocky Gerung.
"Society 5.0 isinya intellectuality, human right, gender equality. Mereka nggak dapet itu," imbuh dia.
Karena itu, menurut Rocky Gerung, berupaya menaikkan elektabilitas Ganjar ataupun Puan adalah hal yang konyol. Sebab, kaum milenial ingin sosok calon presiden yang concern pada gender equality hingga demokrasi.
"Jadi konyol kita berupaya menaikkan elektabilitas Ganjar, padahal bagi milenial itu orang bodoh. Demikian juga Puan. Sama, mereka anggap ini orang nggak ngerti new grammar of world's politic adalah gender equality, democracy, human rights," ujar Rocky Gerung.
Kritik Ambang Batas
Dalam diskusi itu, Rocky Gerung juga mengkritik perihal presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden. Menurutnya, hal itu menunjukkan bahwa oligarki Indonesia tengah beternak politikus.
"Oligarki beternak politisi. Peternakan itu kita baca dari sekarang, melalui PT, udah dikunci itu. Yang boleh diternakkan cuma yang udah punya tiket. Lalu dipagar lagi melalui COVID. Mahasiswa nggak boleh demo, LSM nggak boleh kritik-kritik pemerintah," kata Rocky Gerung.
"Lalu di-backup lagi melalui palang yang disebut omnibus law, sehingga semua kebijakan tidak boleh dipersoalkan lagi. Bahkan DPR sudah stempel-stempel aja, kalau pemerintah mau ini udah diizinin aja. Pemilu 2024 menjadi ruang tertutup tempat black market of oligarchy beroperasi. Di situ akan ada OTT. Operasi Tukar Tambah. Karena itu kita upayakan PT itu dilenyapkan," imbuh dia.
Kritik yang sama juga disampaikan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini berharap agar ambang batas pencalonan presiden dapat diubah, sehingga nantinya muncul calon-calon presiden alternatif di Pemilu 2024.
"Peluang perempuan, peluang capres-capres alternatif mewakili daerah akhirnya kembali ke hulu, punya tidak 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah. Akhirnya ya ujung-ujungnya kembali ke partai yang memiliki 20 persen kursi da. 25 persen suara," ungkap Titi. [detik]