GELORA.CO - Dua megaproyek pemerintah yakni pemindahan ibu kota baru dan kereta cepat Jakarta-Bandung ditentang sejumlah pakar ekonomi lantaran tidak memiliki keuntungan bagi keuangan negara, yang ada justru memperburuk fiskal.
Ahli ekonomi Rizal Ramli menilai, pemerintah seharusnya tahu diri soal keuangan negara yang saat ini tengah defisit cukup tajam akibat sentimen negatif pandemi Covid-19, yang dalam kurun dua tahun memporakporandakan ekonomi nasional.
"Kita enggak punya uang untuk membangun ibu kota baru, atau proyek ini atau proyek itu. Tapi mereka paksakan juga, bikin Ibukota baru misalnya," ucap Rizal Ramli dalam acara diskusi virtual Gelora Talks bertemakan 'APBN di antara Himpitan Pajak dan Utang Negara', Rabu (20/10).
Mantan Menko Ekuin era Presiden Gus Dur ini mencontohkan beberapa negara yang melakukan pemindahan ibu kota baru namun berujung pada kemubaziran, karena hanya menjadi sebuah monumen semata.
"Padahal ibu kota itu (di Kalimantan Timur) jauh sekali. Naik pesawat tiga jam, di seluruh dunia banyak yang bikin ibu kota baru begitu, jaraknya jauh, gagal. Hanya jadi monumen saja," tutur Rizal Ramli.
"Brazil (misalnya), bikin ibu kota baru Brazilian City, tiga jam dari kota lama Rio de Jeneiro, gagal. Cuman jadi monumen doang," imbuhnya.
Selain itu, contoh lainnya ada di India yang dulunya memiliki ibu kota di Old Delhi kemudian membangun ibu kota baru di daerah Punjab. Alhasil akhirnya sama, menjadi monumen semata dan tidak memiliki manfaat lantas dibangun lagi ibu kota baru di New Delhi yang hanya berjarak setengah jam dari Old Delhi hingga akhirnya sukses.
Berbeda halnya dengan tetangga dekat Indonesia, yaitu Malaysia. Sosok yang kerap disapa RR ini mengatakan bahwa pembuatan ibu kota baru Malaysia di Putrajaya jaraknya hanya satu jam dari Kuala Lumpur, dan terbilang berhasil.
"Jadi ini proyek (ibu kota baru Indonesia) ngada-ngada, dipaksakan dan semuanya setuju karena yang ada ini bukan demokrasi, di Indonesia," katanya.
Menurutnya, di Indonesia kini sudah melupakan nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya. Justru menurutnya, yang ada di Indonesia saat ini adalah united oligarki.
"Jadi kepalanya cuman satu dia perintahkan bos-bos partai untuk dukung. Jadi yang ada ini bukan demokrasi ini namanya united olgarki," tutur RR.
"Segala macem yang enggak penting, yang bukan prioritas dipaksain. Semua bilang yes man, padahal anggaran pemerintah itu bolongnya sudah sangat besar,” imbuhnya.
Selain itu, mantan Kepala Bulog ini juga melihat utang Indonesia yang sudah semakin membengkak. Katanya, untuk membayar pokok pinjaman saja negara harus menggelontorkan dana Rp 400 triliun.
"Kemudian membayar bunga pinjaman sebesar Rp 370 triliun, sehingga total utang yang harus dibayar negara tahun ini Rp 730 triliun," katanya.
Maka dari itu, RR merasa heran jika ada megaproyek pembangunan ibu kota yang akan tetapi dilanjutkan Jokowi. Karena dari segi kemampuan bayar utang negara saja, pemerintah haru berutang lagi.
"Harus gali lobang tutup jurang. Ini pengelolaan fiskal yang ugal-ugalan. Tapi selalu diklaim pengelolaan fiskal yang bertanggung jawab. Itu bohong semua. Pengelolaan ugal-ugalan kok," tutupnya.[rmol]