Politisi Indonesia Heboh Duluan, Ternyata Turki Belum Resmi Sampaikan Nama Ataturk, Ini Penjelasan Dubes

Politisi Indonesia Heboh Duluan, Ternyata Turki Belum Resmi Sampaikan Nama Ataturk, Ini Penjelasan Dubes

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Dubes RI untuk Turki menyebut sejauh ini negara itu belum resmi menyampaikan Mustafa Ataturk akan dijadikan nama jalan di Jakarta. Namun politisi Indonesia sudah heboh.

Hanya saja bila merujuk asas resiprokal, bahwa Soekarno kategorinya Bapak Bangsa Indonesia, menjadi sangat logis bila Turki mengusulkan Mustafa Kemal Pasha Ataturk yang merupakan pendiri republik Turki.

Karena itu ketika Turki menyetujui permintaan untuk mengganti nama Jalan Holland di depan gedung KBRI di Ankara menjadi Jalan Ahmet Soekarno, Indonesia pun sepatutnya mengabulkan apa yang diusulkan Turki.

Tapi sejauh ini negara itu belum secara resmi menyampaikan nama tokoh yang akan dijadikan nama jalan di Jakarta.

“Tapi soal nama itu sepenuhnya ada di Turki, bukan usulan dubes, Pemprov DKI, maupun pemerintah RI,” kata Duta Besar RI untuk Turki Lalu Muhamad Iqbal, Selasa (19/10/2021).

Dubes RI ini mengungkapkan hal itu merespons keberatan sejumlah pihak di tanah air terkait rencana menjadikan Mustafa Kemal Ataturk menjadi nama jalan di daerah Menteng Jakarta Pusat.

Alasan para politisi di Indonesia ini, Ataturk dicap sebagai tokoh sekuler dan merugikan Islam.

Dubes RI Lalu Muhamad Iqbal merujuk pepatah Arab yang menyatakan bahwa manusia itu cenderung memusuhi sesuatu yang tidak diketahuinya dengan baik dan utuh.

Padahal, kata alumnus Hubungan Internasional Universitas Muhamadiyah Yogyakarta itu, setiap tokoh pasti mempunyai plus-minus.

Rasulullah Muhammad SAW yang terbebas dari salah dan dosa sekalipun, kata Lalu Muhamad Iqbal, ada saja pihak yang tak suka dan memberi cap negatif.

Apalagi cuma seorang Soekarno dan Ataturk yang manusia biasa.

“Karena itu kami mengusulkan nama Jalan Ahmet Soekarno, Turki menyetujui tanpa mempertanyakan ahlak dan keislamannya,” kata Lalu Muhamad Iqbal.

Bagi Turki, cukup satu hal bahwa Indonesia adalah negara yang sangat mereka hormati. Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

“Siapa pun yang mereka anggap penting kami anggap penting juga,” imbuh Iqbal.

Bila semua pihak mau belajar sejarah dan dinamika politik di Turki sejak berdiri pada 1923 hingga saat ini, dia yakin akan memahami betul arti Mustafa Kemal Ataturk bagi rakyat Turki.

“Beliau adalah pembebas negeri itu dari penjajahan Barat. Semua mengakui jasanya sebagai pendiri Republik Turki,” tegasnya.

Soekarno sebagai Bapak Bangsa Indonesia pun mengakui perjuangannya terinspirasi oleh perlawanan Ataturk dalam memerdekaan Turki.

Soal kebijakan Ataturk menjadikan Masjid Hagia Sophia sebagai museum, hal itu harus dilihat dari konteks sosiologis dan psikologi politik yang terjadi kala itu.

Sebagai negara kalah perang, kata dia, Ataturk harus menghindarkan bangsa dan rakyatnya dari ancaman penjajahan kembali oleh negara-negara Barat.

“Dia terpaksa sedikit mengentertaint Barat, toh yang penting Turki bisa kembali berdaulat,” ujarnya dilansir detikcom.

Ketika negeri itu sudah merasa kuat seperti sekarang ini, Presiden Recep Tayyip Erdogan kemudian mengembalikan Hagia Sophia menjadi masjid.

Hal itu dilakukan tanpa mencela atau menjelekkan kebijakan pendahulunya. Bagi rakyat Turki, sejarah adalah sejarah. Yang baik dilanjutkan, yang kurang baik diperbaiki.

“Partai AK pimpinan Presiden Erdogan yang cenderung Islam konservatif pun tak pernah mencela kebijakan yang dibuat pemimpin terdahulu (Ataturk),” ujar mantan Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri itu.

Sikap sekularisme yang dikembangkan Ataturk, dia melanjutkan, harus dilihat dari konteks atau latar belakang pribadinya sejak lahir.

Kala itu Kesultanan Turki sudah merosot dan mengalami dekadensi moral. Islam hanya sebagai simbol, sedangkan sikap dan perilaku sultan jauh dari nilai-nilai Islam.

Ataturk juga punya pengalaman buruk saat belajar di sekolah Islam, sehingga dia hijrah ke sekolah umum yang sekuler.[pojoksatu]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita