Persoalan Jalan Kemal Ataturk

Persoalan Jalan Kemal Ataturk

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Oleh: Yusril Ihza Mahendra

PERSOALAN nama Jalan Kemal Ataturk kini mencuat ke permukaan dan menimbulkan polemik pro dan kontra. Usut punya usut ternyata, persoalan ini timbul sebagai akibat dari permintaan Pemerintah RI agar nama jalan di dekat KBRI Ankara diganti dengan nama Jalan Sukarno, Proklamator dan Presiden RI.

Permintaan itu dikabulkan Pemerintah Turki. Sebagai balasannya, Pemerintah Turki juga meminta hal yang sama. Agar ada jalan namanya Kemal Attaturk, tidak jauh-jauh dari Kedutaan Turki di Jalan Rasuna Said, Jakarta.

Mustafa Kemal Pasya atau Kemal Ataturk adalah tokoh kontroversial. Bukan saja di Turki pada zamannya, tetapi juga di Indonesia dan banyak negeri Muslim yang lain.

Kemal adalah pemimpin militer Turki yang mengambil alih kekuasaan kekhalifahan di negaranya dan membubarkannya. Dia membentuk sebuah Republik bercorak sekuler. Kekhalifahan Turki yang berdiri sejak zaman Osmaniyah dan dianggap simbol pemerintahan Islam dia bubarkan.

Kemal “memisahkan” antara agama (Islam) dengan negara.

Ketika Kemal mengambil alih kekuasaan, Kekhalifahan Turki memang sedang redup. Turki yang bergabung dengan Jerman dalam Perang Dunia I mengalami kekalahan. Turki yang mulai lemah baik dari segi militer maupun ekonomi dipaksa mengikuti kehendak Inggris dan sekutunya.

Sementara Khalifah Turki tetap hidup glamor dan bermewah-mewah dalam suasana negara sedang terpuruk. Pembangunan Istana super mewah Tokhapi di Istambul, dilakukan di zaman Turki sedang terpuruk itu.

Kehidupan Sultan dan bangsawan Turki menuai kritik di dunia Islam sendiri karena dianggap jauh dari nilai-nilai Islam.

Mohammad Natsir dalam polemiknya dengan Sukarno menjelang kita merdeka mengatakan, dalam suasana seperti itu tidak perlu lagi adanya pemisahan antara Islam dengan negara, sebab dalam kenyataannya Islam memang sudah “terpisah” dengan negara seperti ditunjukkan oleh prilaku pengusaha Kekhalifahan Turki itu.

Implikasi politik dari apa yang terjadi di Turki zaman itu gaungnya terasa di negeri kita. Kelompok “Nasionalis sekular” merasa senang dengan kehadiran Ataturk. Sebaliknya para tokoh “Nasionalis Islam” berada dalam kecemasan.

Tahun-tahun 1920-an itu di negara kita sedang terjadi polemik ideologis yang luas tentang Islam dan Nasionalisme dan masalah hubungan “agama” dengan “negara”.

Polemik antara Sukarno dan Mohammad Natsir seperti telah saya singgung di atas, tentang hubungan agama pada dekade terakhir kolonialisme Belanda di negeri kita, dilatarbelakangi oleh kebangkitan nasionalisme dan sekularisme di Turki.

Perdebatan dalam sidang BPUPKI ketika merumuskan “de filosofische grondslag” (dasar falsafah negara) yang berujung kompromi dalam bentuk Piagam Jakarta, juga bertalian dengan hubungan antara Islam dengan negara pada sebuah negara modern.

Karena itu, kalau sekarang ini masih ada rasa ketidaksukaan sebagian masyarakat kita terhadap Kemal Ataturk, hal itu memang wajar. Sebab, ketegangan pemikiran antara Islam dan Sekularisme dengan berbagai variannya, mulai dari yang moderat dan menerima Pancasila sampai yang ingin mendirikan kembali “negara khilafah” hingga kini tetap berlangsung di negeri kita.

Walau intensitasnya, tentu tidak sekeras menjelang kemerdekaan tahun 1945, menjelang Pemilu 1955 dan sidang Konstituante 1957 serta di masa awal Orde Baru tahun 1967.

Pelajaran Penting

Karena Pemerintah kita yang lebih dulu meminta Pemerintah Turki mengganti nama sebuah jalan yang “berbau” Belanda dengan nama Jalan Sukarno, maka wajar saja jika secara resiprokal, Turki meminta hal yang sama. Orang Turki tampaknya tidak mempersoalkan pergantian nama jalan dengan nama Jalan Sukarno.

Tetapi di negeri kita, nama Jalan Ataturk yang diminta Pemerintah Turki itu membuat pusing banyak orang. Bahkan kini berkembang banyak rumors Pemerintah akan memberi nama banyak jalan dengan nama tokoh-tokoh kiri dan Komunis: Jalan Stalin, Kruschev, Jalan Mao Zedong, Jalan Ho Chi Minh dan entah jalan siapa lagi tokoh-tokoh Komunis yang pernah ada di dunia ini.

Sementara usul mengganti nama Jalan Kebon Sirih dengan Jalan Ali Sadikin yang sudah diusulkan DPRD DKI ke Gubernur, belum juga dilaksanakan. Usul tokoh-tokoh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) agar Jalan Kramat Raya diganti namanya dengan Jalan Mohammad Natsir, sampai sekarang tampaknya belum digugris Pemerintah.

Di negara kita, urusan nama jalan adalah urusan Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat hanya dapat mengusulkan kepada Pemda untuk memberi nama atau mengubah nama jalan yang sudah ada.

Gubernur Anis Baswedan yang mendapat dukungan umat Islam melawan Ahok dan AHY dalam Pilkada DKI mestinya tidak ada keberatan apapun dan tidak berlama-lama mengganti nama Jalan Kebon Sirih dengan Jalan Ali Sadikin. Jalan Kramat Raya dengan Jalan Mohammad Natsir. Jalan Matraman Raya dengan Jalan Kasman Singodimedjo. Jalan Warung Buncit dengan Jalan AH Nasution.

Dari pengalaman permintaan resiprokal Pemerintah Turki, entah apakah itu pemerintahan Presiden Edrogan -yang sepanjang pemahaman saya lebih cenderung ke Islam yang beda dengan Sekukarisme Ataturk- ataukah hanya permintaan Kedubes Turki di Jakarta, saya tidak tahu.

Ke depan sebaiknya kita tidak usah lagi minta negara lain memberi nama jalan dengan tokoh-tokoh bangsa kita. Sebab, jika mereka juga minta nama tokoh mereka dijadikan nama jalan di Jakarta, kita bisa pusing sendiri.

Di masa lalu, kita pernah dengan inisiatif sendiri memberi nama jalan dengan tokoh negara lain. Ambil contoh Jalan Patrice Lumumba misalnya yang terletak antara Jalan Gunung Sahari dengan Bandara Kemayoran zaman dulu. Lumumba adalah pemimpin Republik Congo di Afrika. Dia dikudeta dan oleh lawan-lawannya dan dituduh Komunis.

Di zaman Orba yang anti Komunis, nama Jalan Patrice Lumumba diganti dengan Jalan Angkasa sampai sekarang. Nama Angkasa terkait dengan bandara, walau Bandara Kemayoran sudah sejak 1984 pindah ke Cengkareng. Kita tidak merasa berat menggantinya karena nama Jalan Patrice Lumumba karena kita berikan sendiri, bukan atas permintaan Pemerintah Congo.

Dilema Nama Jalan

Saya kira memberi nama jalan dengan nama tokoh atau pahlawan memang akan selalu berhadapan dengan dilema. Seseorang menjadi pahlawan atau menjadi pengkhianat, disukai atau dibenci, sangat tergantung kepada situasi politik pada suatu zaman.

Andai ada nama Jalan DN Aidit pada zaman Orde Lama, hampir dapat dipastikan nama jalan itu akan diganti di zaman Orde Baru.

Mohammad Natsir adalah “pemberontak PRRI” di zaman Orla dan Orba. Di zaman Orref (Orde Reformasi) beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Persepsi masyarakat selalu berubah seiring dengan perubahan zaman. Begitulah sejarah manusia. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita