Perlukah Jokowi Khawatir 'Matahari Kembar' Jika Pemilu 2024 Digelar 15 Mei?

Perlukah Jokowi Khawatir 'Matahari Kembar' Jika Pemilu 2024 Digelar 15 Mei?

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Kekhawatiran akan matahari kembar dinilai menjadi alasan pemerintah tetap kekeh menyelenggarakan pemilu pada 15 Mei 2024. 

Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana menilai wajar adanya matahari kembar atau dualisme kepemimpinan karena masa transisi yang begitu lama sejak terpilihnya presiden baru hingga pelantikan.
"Kita punya pengalaman di tahun 2014 dan di 2004 ketika terjadi pergantian presiden, itu relatif waktunya pendek. 

Jadi pilpres bulan Juli pelantikan Oktober, jadi 3 bulan. Kalau 2019 itu kan waktunya memang panjang, tapi kan Pak Jokowi menang lagi, jadi nggak ada kekhawatiran soal dualisme kepemimpinan," kata Aditya, kepada wartawan, Kamis (14/10/2021).

"Poinnya yang dikhawatirkan adalah masa transisi. Jadi masa transisi itu kan si presiden terpilih dan presiden definitif untuk bekerja mereka saling koordinasi. Nah transisi ini yang orang menganggap banyak problem," lanjutnya.

Aditya mengungkap hal yang menjadi masalah hingga munculnya kekhawatiran akan matahari kembar itu justru dibuat oleh mereka yang memiliki kepentingan. Aditya menilai masa transisi itu akan timbul urusan-urusan politik di dalam pemerintahan.

"Kenapa mereka khawatir, karena yang saya tahu di masa transisi itu lah terjadi transaksi antar pemerintah dan pemerintahan baru. Jadi ini urusannya adalah urusan politik bagaimana transfer antara kekuasaan, bahkan hal-hal yang terkait dengan kekuasaan. Di birokrasi mereka juga akan menjadi problem karena di masa itu ada dua pihak yang ngejar proyek ini proyek itu, tim ini tim itu, masuk semua, sudah mulai mengamankan. Itu yang perlu dikonfirmasi bener atau nggak," ujarnya.

Sementara saat ini Indonesia belum memiliki skenario yang tetap terkait masa transisi kepemimpinan. Menurutnya, wajar jika kekhawatiran itu muncul.

"Kita belum punya skenario yang ajeg (tetap) untuk masa transisi itu. Jadi memang orang kemudian berpikir bagaimana exercise-nya. Wajar saja kalau kekhawatiran itu muncul, karena skema itu kita belum punya patokan yang ajeg. Kalau 2019 kan presidennya sama jadi nggak ada kekhawatiran, kalau 2014 presiden berbeda tapi kurun waktunya pendek, jadi nggak terlalu banyak persoalan, nah ini kan panjang jadi gimana," ucapnya.

Meski begitu, Aditya menilai seharusnya Jokowi tidak ikut khawatir di masa transisi itu. Dia khawatir Jokowi akan legowo.

Namun tetap saja, menurutnya Jokowi, juga akan mengatur agenda setting. Demi melanjutkan program-programnya yang berkelanjutan, seperti salah satunya ibu kota negara baru.

"Kalau seorang Jokowi mestinya nggak level untuk bicara khawatir di masa transisi, ini kan udah periode keduanya, pasti dia juga akan legowo untuk meninggalkan itu semua. Yang harus kita pahami konteksnya adalah lingkaran dia, dan Pak Jokowi mungkin akan melakukan agenda setting karena di periode kepemimpinanya kalau bisa harus searah juga dengan kepentingan presiden baru," ujarnya.

"Contoh soal ibu kota baru itu kan satu isu yang menurut saya tentu harus dipikirkan banyak orang yang berkesinambungan jadi harus cocok dengan seseorang yang bisa menyesuaikan dari pemerintahan lama ke pemerintahan baru," imbuh Aditya.(RMOL)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita