GELORA.CO - Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PAN, Guspardi Gaus, mengungkap alasan pemerintah mengusulkan pemilu digelar 15 Mei 2024 karena khawatir adanya gejolak politik hingga adanya 'matahari kembar'. PDI Perjuangan pertanyakan maksud 'matahari kembar'.
"Matahari kembar bagaimana maksudnya?" ujar Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PDI Perjuangan Junimart Girsang kepada wartawan, Sabtu (9/10/2021).
Junimart mengatakan penentuan permasalahan waktu pelaksanaan sebenarnya tidak rumit. Sebab, berdasarkan UU Pemilu, KPU-lah yang diberi wewenang untuk menentukan.
"Sesungguhnya simpel saja. Sesuai UU Pemilu pada pasal 347 ayat 2 penentuan dan penetapan tanggal, bulan Pemilu menjadi otoritas KPU yang diterbitkan melalui PKPU," ujar Junimart.
Menurutnya, kegaduhan justru akan timbul bila Pemilu tidak dijalankan sesuai UU. Dia juga meminta agar masalah penentuan pelaksanaan tidak dipolitisasi.
"Tidak ada kegaduhan, justru kegaduhan bisa lahir ketika kita menabrak UU. UU jangan dipolitisir. Haram hukumnya," tuturnya.
Junimart mengatakan pihaknya taat pada aturan yang berlaku. Dia juga menilai seluruh pihak wajib mengikuti opsi tanggal pelaksanaan pemilu sesuai usulan KPU.
"PDIP taat UU, kewenangan yang diberikan kepada KPU sebagai penyelenggara harus kita hormati. 21 Februari 2024 untuk Pileg Pilpres yang diajukan oleh KPU dalam rapat kerja di Komisi II wajib kita ikuti karena KPU juga sudah mensimulasikan pra tahapan, tahapan hingga pemilu," ujar Junimart.
"Pemilu dan pilkada sesuai UU adalah otoritas KPU, mereka adalah badan yang bertanggung jawab menyelenggarakan pesta demokrasi ini. KPU tidak boleh berpolitik!" sambungnya.
Sebelumnya, anggota Komisi II DPR RI Fraksi PAN, Guspardi Gaus, mendukung usulan pemerintah terkait jadwal pemilu serentak 15 Mei 2024. Guspardi mengatakan pemerintah mengusulkan pemilu digelar pada 15 Mei 2024 karena khawatir adanya gejolak politik apabila pilpres digelar di awal tahun, yaitu 21 Februari 2024 sesuai usulan KPU.
"Banyak hal yang disampaikan pemerintah, pertama adalah persoalan kalau seandainya di tanggal 21 Februari dilakukan pileg dan pilpres, utamanya pilpres, itu kan pasti akan menimbulkan gejolak politik, tidak terjadinya harmonisasi terhadap pemerintahan pusat," kata Guspardi dalam diskusi ini.
Sebab, menurut Guspardi, jika pilpres dilaksanakan pada 21 Februari, hasil pilpresnya langsung diketahui masyarakat. Sementara itu, Presiden Jokowi masih menjabat hingga Oktober 2024, sedangkan apabila presiden terpilih tidak didukung oleh pemerintah, diperkirakan akan menimbulkan kegaduhan.
"Karena apa? Karena kalaulah seandainya ketika itu pemilihan presiden tidak berlanjut pada tahap berikutnya, tentu pada saat itu sudah diketahui siapa yang akan menjadi calon presiden, kalaulah itu terjadi, bagaimanapun, kita tidak bisa menafikan tentu ada dua matahari ketika itu, ada yang namanya presiden incumbent, yang namanya Pak Jokowi, yang beliau sudah menyatakan tidak akan maju lagi," kata Guspardi.
"Kemudian ada lagi hasil dari pada Pilpres 21 Februari, apalagi kalau seandainya orang yang maju itu tidak didukung oleh pihak pemerintah, tentu akan menimbulkan dinamika kegaduhan dan sebagaimana. Ini adalah sesuatu yang harus dicatat-diketahui oleh masyarakat," ungkapnya.
Lebih lanjut Guspardi mengatakan selama ini pilpres dilaksanakan pada April. Tetapi, jika dilaksanakan pada Februari, ada rentang waktu yang panjang sehingga dinilai kurang elok. Selain itu, persoalan lain misalnya terkait masalah anggaran pemilu.
"Berkaitan dengan masalah finansial, masalah anggaran, di mana pada hari ini kita concern terhadap bagaimana melakukan pembenahan terhadap pandemi COVID-19 yang alhamdulillah pada saat ini sudah mulai membaik dan terhadap ekonomi kita yang sangat morat-marit, tentu kita berharap sebagaimana yang saya lansir selama ini, yang diajukan oleh KPU, anggarannya itu adalah Rp 87 triliun, 60 persen kegunaannya adalah untuk honor," ujarnya.(detik)