GELORA.CO - Geger soal bendera yang disebut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi yang sudah dilarang di Indonesia, merembet ke persoalan Novel Baswedan dkk yang baru-baru ini dipecat KPK buntut polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Novel Baswedan pun angkat bicara.
Bermula dari beredarnya surat terbuka seorang bernama Iwan Ismail yang mengaku dipecat KPK sekitar 2 tahun lalu. Iwan mengaku saat itu bekerja sebagai pegawai tidak tetap di KPK di bagian pengamanan atau singkatnya sebagai satpam.
Iwan Ismail mulai bekerja pada 14 November 2018 dan mengikuti pelatihan pengelolaan rumah tahanan dan pengawalan tahanan. Saat itu dia mengaku melihat bendera putih dengan tulisan hitam yang disebutnya sebagai bendera HTI di meja kerja pegawai KPK di lantai 10 Gedung Merah Putih.
Waktu berlalu hingga 20 September 2019 ketika KPK digoyang isu 'Taliban', Iwan Ismail mengaku mendapati bendera yang sama dan memotretnya. Iwan Ismail mengaku akan melaporkan temuannya itu tetapi terlebih dahulu menyebarkannya ke grup WhatsApp Banser Kabupaten Bandung. Iwan Ismail sendiri mengaku sebagai anggota Banser.
Selepasnya foto yang diambil dan disebarkan Iwan Ismail menjadi viral. Buntutnya Iwan Ismail diadili secara etik oleh Pengawas Internal (PI) KPK karena saat itu Dewan Pengawas (Dewas) KPK belum dibentuk. Iwan Ismail dinyatakan melanggar kode etik berat dan dipecat.
Denny Siregar Vs Febri Diansyah
Denny Siregar melalui akun Twitternya lantas melemparkan serangan. Denny Siregar menyebut Iwan Ismail dipecat Novel Baswedan.
"Iwan Ismail satpam lama KPK dipecat Novel Baswedan, karena memotret meja kerja yang ada bendera HTI. Novel Baswedan dipecat KPK karena tidak lolos TWK. Orang bilang hidup itu tidak adil. Tapi ada saat keadilan itu datang dalam bentuk pembalasan yang lebih menyakitkan," tulis Denny Siregar.
Cuitan Denny Siregar itu dibalas mantan Juru Bicara KPK Febri Diansyah. Febri Diansyah menyebutkan bila Novel Baswedan bukanlah pihak yang berwenang untuk memecat seseorang di KPK.
"Di twit ini anda @Dennysiregar7 tulis Satpam dipecat Novel, padahal Novel penyidik KPK yang tidak ada hubungan dan tidak punya kewenangan berhentikan pegawai. Padahal Novel berada di lantai lain dan bendera yang difoto di meja jaksa di lantai berbeda. Kebohongan apa yang Anda sebar? Untuk apa?" kata Febri.
Denny Siregar tak tinggal diam. Dia kembali membalas cuitan Febri.
"Gak usah sok lugu gitu deh, mas @febridiansyah. Saya tau anda orang pinter, kan gak mungkin tangan Nopel yang 'bersih' dan jabatannya tinggi itu langsung memecat seorang satpam. Tapi kita juga betapa kuatnya pengaruh Nopel waktu itu. Dan fakta ini jangan diabaikan," sebut Denny Siregar.
Febri kembali membalas Denny Siregar. Dia meminta Denny Siregar membuktikan ucapannya.
"Mulai melintir kan? Kemarin anda @Dennysiregar7 bilang Novel yang mecat. Sekarang bicara pengaruh Novel. Memecat itu berbeda dengan pengaruh. Jabatan Novel tinggi? Ga juga. Ia bahkan bukan Pejabat Struktural. Di atasnya ada 3 level sampai Pimpinan. Coba buktikan fitnah tentang Novel yang pecat satpam," ucap Febri Diansyah.
Sorotan Febri Diansyah soal Isu Bendera dengan 'Taliban'
Febri Diansyah kemudian menyampaikan pendapatnya perihal isu bendera yang dikaitkan dengan Novel Baswedan dkk yang baru dipecat KPK. Menurut Febri, isu ini sengaja dimunculkan oleh pihak tertentu.
"Isu bendera ini semakin membuktikan 58 Pegawai KPK yang disingkirkan adalah korban. Terbukti, bendera yang diinfokan sedemikian rupa seolah-olah simbol 'taliban' di KPK, ternyata tidak berada di meja kerja 58 Pegawai KPK tersebut. Semakin membuktikan, begitu murahan isu 'taliban' itu," kata Febri Diansyah.
"Dugaan saya, pihak yang singkirkan 58 Pegawai KPK sedang panik. Narasi murahan tentang 'taliban' diruntuhkan oleh pernyataan Kapolri yang justru membuka pintu untuk para Pegawai KPK tersebut. Tapi karena ga ada isu lain yang bisa dipakai menyerang 58 Pegawai KPK, ya apa boleh buat yang basi diolah lagi," imbuhnya.
Menanggapi cuitan Febri, Novel Baswedan turut bicara melalui akun Twitternya. Novel menyebutkan isu radikal kerap menjadi framing dari koruptor.
"Sejak awal sudah kita sampaikan bahwa isu radikal dan sebagainya adalah framing para koruptor agar aman berbuat korupsi. Mereka bisa saja bayar orang-orang untuk buat tulisan di medsos. Sekarang koruptor semakin aman & terus garong harta negara. Kasihan masyarakat Indonesia, koruptor makin jaya," kata Novel.(detik)