Mereduksi Islam, Menuju Kepunahan NKRI

Mereduksi Islam, Menuju Kepunahan NKRI

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh: Yusuf Blegur*

“ATAS berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya".

Maklumat itu, sepertinya tidak menjadi landasan yang penting dan prinsip bagi negara dan bangsa. Jangankan menghidupi rakyat Indonesia (muslim)  dengan Al Quran dan sunah. Rakyat kebanyakan yang pasrah  bersama pemimpin yang serakah. Justru  menghirup nafas dan keyakinan yang meniadakan Allah Yang Maha Kuasa. Bertolak belakang dari mukadimah UUD 1945 yang menjadi esensi konstitusi negara tersebut.

Dengan beragam modus seperti kapitalisme dan komunisme. Eksis namun bengis dalam  tampilan oligarki, otokrasi, tirani, anti demokrasi,  korupsi dsb. Bagaimanapun semua itu, substansinya merupakan karakter yang sama-sama resisten pada agama dan apriori terhadap Tuhan. Terusik oleh itu dan  menjadi kegelisahan tersembunyi. Apakah Indonesia kini  diambang kehancuran total  atau menuju kebangkitan Islam?.

Sebagai sebuah negara yang kelahirannya tidak bisa dipisahkan dari Islam. Bahkan pada saat sebelum dan sesudah meraih kemerdekaan. Indonesia tumbuh dan berkembang dengan Islam sebagai kekuatan utama yang menopangnya. Tanpa mengabaikan peran agama, ideologi dan entitas politik lainnya.

Islam saat itu merupakan agama yang radikal dan fundamental bukan hanya dalam ranah dakwah atau syiar semata. Melainkan Islam juga menjadi gerakan progressif revolusioner dalam tataran sosial, ekonomi dan politik.

Islam kemudian lebih bermetamorfosis  menjadi gerakan kebangsaan. Lewat organisasi perserikatan dagang, perkumpulan diskusi  dan pendidikan cikal bakal pesantren. Para ulama, santri dan pemimpin intelektual Islam, melebur bersama elemen bangsa lainnya menggelorakan semangat cinta tanah air. Lewat laskar-laskar pejuang organisasi Islam dan kesadaran perlawanan rakyat menyeluruh.

Nasionalisme dan tuntutan kemerdekaan Indonesia dengan segala tumpah darah dan nyawa dalam upaya mempertahankannya. Berkumandang seantero republik dengan kepeloporan para Ulama, pemimpin organisasi pergerakan dan tentara rakyat.

Resolusi jihad dalam mengusir  penjajahan menjadi ruh 'dus' amunisi perjuangan mewujudkan Indonesia merdeka yang adil dan makmur. Gema takbir "Allahu Akbar" dan "merdeka atau mati, menjadi jiwa sekaligus  saksi sejarah yang tidak bisa dihilangkan dari sejarah NKRI.

Rapuhnya Konsensus Nasional

Pasca kesepakatan Piagam Jakarta yang menggagalkan penerapan syariat Islam dalam sistem kenegaraan. Sejatinya Negara Indonesia seperti mengalami anti klimaks. Kultur dan natur rakyat nusantara yang dominan berbasis Islam setidaknya dalam kuantitas dan sebaran populasi menurut wilayah. Mengalami proses reduksi dan eliminasi dalam konstruksi negara. Kompromi politik yang sengit  karena faktor akomodasi dari eksistensi suku, agama dan ras. Kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa tak bisa dihindari mematahkan semangat "objectif gigeven" masyarakat religius.

Struktur sejarah, gerakan perlawanan kolonialisme-imperialisme dan kepeloporan menginisiasi kelahiran   negara kebangsaan Indonesia, yang muncul  dari rahim dan identitas Islam. Tergerus seiring narasi Panca Sila, UUD  1945 dan NKRI  memasung doktrin, faham, ajaran  dan ideologi lain du negeri ini. Mirisnya dalam sepanjang perjalanan,  Panca Sila dikhianati. UUD 1945 dikebiri. NKRI dimutilasi.  Termasuk syariat Islam atau khilafah. Belum lahir sudah diaborsi.

Dengan digdayanya sistem kapitalis dan komunis yang menjadi induk semang dan  mewajah baru kolonialime dan imperialisme dunia. Sepanjang kelahiran Indonesia hingga kekinian. Negara dan rakyat Indonesia terasa nyaman menjadi lahan subur bagi berkembang biaknya liberalisasi dan sekulerisasi (moderasi aliran rasional, naturalis dll) dalam segala lini kehidupan. Cara berpikir, berkata dan berrindak cenderung kontradiktif dari semangat dan nilai Islam.

Sistem politik yang memisah relasi agama  dengan negara. Bukan saja menempatkan Islam pada posisi marginal, meski sebagai rakyat mayoritas. Islam menjadi asing,  bagi umat penganutnya dan di negeri sendiri. Sistem Negara  berangsur-angsur secara halus merampok dan memperkosa  keyakinan agama rakyatnya. Negara seperti kacang lupa pada kulitnya.

Negara mengingkari bahwasanya Islam merupakan alasan kelahiran dan mewujudnya Indonesia. Selain menghadirkan penjajajahan klasik di era modern. Negara penuh sesak oleh praktek-praktek oligarki dan otokrasi. Korupsi, kolusi, nepotisme dan pelbagai watak penindasan terhadap rakyat. Maraknya kenyataan yang  tidak ideal, justru menjadi representasi wajah kekuasaan.

Kekuasaan dari trah kolonialisme dan imperialisme lama, namun mengalami 'renasaince' di era modern. Sekumpulan yang segelintir dari birokrasi, politisi dan korporasi  yang membajak negara. Perilaku kekuasaan yang dulu ditentang karena ingin memperjuangkan negeri yang merdeka, adil dan makmur bernama Indonesia.

Indonesia kini, dengan kesadaran krisis dan kesadaran makna  atau tidak sama sekali.  Ada kepedulian atau pura-pura tidak tahu.  Terus melakukan pembiaran ataupun dengan gugatan. Mengadakan aksi perlawanan maupun lebih memilih bersekongkol. Apapun kekacauan  keadaannya sekarang. Sudah dalam posisi yang sangat membahayakan. Seperti penyakit, ia berada dalam kondisi akut dan kritis. Tidak cukup sekedar diagnosa, harus ada langkah kongkrit penyelamatan.

Kekuatan Islam yang perlahan dilumpuhkan, mencerminkan realitas semua kerusakan itu. Menjadi titik balik dari keberadaan dan eksistensi Indonesia saat ini dan masa depan. Apakah kekuatan Islam di negeri ini terus menjadi korban dari eksploitasi kejahatan negara dan kekuatan global. Ataukah Islam bangkit di negeri yang spiritualitas dengan kehidupan rakyatnya tercerai-berai. Terutama saat  Tuhan dihadirkan dalam wujud harta dan tahta. Uang dan kekuasaan menjadi sesembahannya.

Mungkinkah kebangkitan umat Islam bersama kebangkitan Indonesia?

Atau kehilangan ghiroh umat Islam seiring kehilangan NKRI?. Entah dari orang dalam kekuasaan yang eling.  Entah revolusi rakyat yang akan melahirkan pemimpinnya sendiri. Mungkin juga jalan keselamatan bagi negeri ini menjadi hak prerogatif Allah Yang Maha Kuasa.

Seiring bergulirnya waktu dan dalam keadaan yang sedemikian rupa. Rakyat Indonesia khususnya umat Islam, harus kembali  kepada nilai-nilai Islam dan menegakkan aqidahnya. Ada baiknya sebagai bagian strategis dari sebuah negara bangsa Indonesia, kaum muslim menengok satu wahyu Allah azza wa jalla. Seperti yang tertuang dalam al Quran pada irisan   surat Ar-Ra'd : 11.

إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى
يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ  

Innallaaha laa yughayyiru maa biqaumin hattaa yughayyiruu maa bi anfusihim.

yang artinya:

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."

In syaa Allah, dengan memaknai dan menginsyafinya. Indonesia tak akan terbenam. Seperti kata Ebiet Gunung Ade, "mumpung kita masih diberi waktu".

Wallahu a'lam bish-shawab. 

*) Penulis adalah pegiat sosial dan aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita