Megawati Rangkap Jabatan, BPIP: Lumrah sejak Dahulu Kala

Megawati Rangkap Jabatan, BPIP: Lumrah sejak Dahulu Kala

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Presiden Joko Widodo resmi melantik Megawati Sukarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rabu (13/10/2021) lalu. Pelantikan tersebut sontak menghadirkan beragam opini dari masyarakat, salah satunya mengenai isu rangkap jabatan. Pasalnya, Megawati telah menduduki posisi Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

"Pemberitaan yang mempermasalahkan ex officio Ketua BRIN dengan BPIP ini  akan berbeda, jika Ibu Megawati Soekarnoputri ini bukan dari Ketua Dewan Pengarah BPIP, Ketua Partai, mantan Wakil Presiden, putri proklamator, dan sebagainya," ujar Plt. Sekretaris Utama BPIP Karjono Atmoharsono dalam keterangan tertulis, Minggu (24/10/2021).

Karjono Atmoharsono menjelaskan, rangkap jabatan atau ex officio merupakan hal yang lumrah di banyak lembaga sejak dahulu kala, bahkan era Orde Lama, Orde Baru hingga Reformasi. Ia menambahkan, secara aturan, hal tersebut tidak memiliki cacat hukum.

"Praktik ex officio lantas berlanjut di era Orde Baru, pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga Jokowi pada generasi milenial," jelas Karjono.

Karjono yang juga Perancang Utama Peraturan Perundang-Undangan BPIP ini mengingatkan, rangkap jabatan sah secara hukum berdasarkan Pasal 1 angka (20) UU 21/2011 dan Pasal 9 UU 30/2014.

"Dibentuk pada 10 Juli 1959 di tengah suasana politik dalam negeri yang genting, ex officio dilakukan oleh Perdana Menteri Soekarno sekaligus menjabat Presiden," kata Karjono.

Karjono kembali mencontohkan kelaziman rangkap jabatan di Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dewan Energi Nasional (DEN), dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).

"Pak Bambang Kesowo waktu itu selain menjabat sebagai Mensesneg juga sebagai penjaga gawang peraturan perundangan NKRI. Kesemuanya sah berdasarkan peraturan dan perundang-undangan masing-masing," jelas Karjono.

Ia juga mengatakan, rangkap jabatan bisa dilakukan untuk jabatan fungsional dengan jabatan struktural. Antara lain hakim (pimpinan pengadilan), dosen (rektor), perancang (pimpinan tinggi), dan diplomat (pengawas).

Menyikap isu rangkap jabatan Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN dan BPIP. Menurut Karjono, pertimbangan dan dasar hukum di atas selaras Pasal 5 huruf a UU 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi alias UU Sisnas Iptek. Bahwa Iptek berperan menjadi landasan dalam perencanaan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan yang berpedoman pada Haluan Ideologi Pancasila.

"Di sisi lain, Pasal 48 UU 11/2019 bahwa untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi dibentuk BRIN. Pasal ini dikuatkan dan diubah dengan Pasal 121 UU 11/2020 Cipta Kerja. Bahwa selain BRIN juga dibentuk Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida). Pertimbangan hukumnya, Iptek dijalankan berpedoman pada Haluan Ideologi Pancasila," jelasnya.

Pertimbangan hukum berdasarkan Pasal 7 Perpres 78/2021 tentang BRIN dan Pasal 4 huruf b Perpres 7/2018 tentang BPIP.

"Bahwa dalam melaksanakan tugas BPIP menyusun Garis-garis Besar Haluan Ideologi Pancasila (GBHIP) dan Peta Jalan Pembinaan Ideologi Pancasila. GBHIP inilah yang menjadi dasar perencanaan pembangunan nasional di bidang Iptek," tambahnya.

Ia juga berpandangan, kredibilitas dari Dewan Pengarah BRIN sudah teruji dari keahlian setiap kandidat. Sebagai contoh, ada yang berlatar belakang Guru Besar, Ahli, hingga Menteri.

 "Seperti Ibu Megawati (Presiden RI kelima), Sri Mulyani (Menkeu), Suharso Monoarfa (Menteri-Pengusaha), Emil Salim (ekonom-cendekiawan), Sudhamek (Chairman GarudaFood Group), Adi Utarini (dosen-peneliti), Marsudi Wahyu Kisworo (Ahli IT), Tri Mumpuni (pemberdaya listrik), Bambang Kesowo, (Ahli HaKI), dan I Gede Wenten (Guru Besar ITB)," terang Karjono.

Ia juga menambahkan, penyelarasan kebijakan Iptek wajib berdasarkan pada Haluan Pembinaan Ideologi Pancasila.

"Selain Ipteknya bagus, maka Iptaqnya juga harus lebih bagus. Mari kita membiasakan apa materi yang diucapkan, bukan siapa yang mengucapkan. Salam Pancasila," tutup Karjono. [tribun]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita