GELORA.CO - Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dinilai Partai Demokrat sebagai pribadi yang gagal move on usai kalah dari SBY pada Pilpres 2009. Pilpres 2004, Megawati juga kalah dari SBY.
Dalam periode demokrasi Indonesia usai reformasi, Megawati Soekarnoputri dua kali kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Piplres 2004 SBY berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK), sementara Megawati Soekarnoputri berpasangan dengan Hasyim Musadi.
Sementara Pilpres 2009 SBY berpasangan dengan Boediono, sementara Megawati berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Pernyataan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto yang menilai kecurangan masif terjadi pada Pemilu 2009, ditanggapi serius oleh Partai Demokrat.
Deputi Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani menilai Hasto masih belum move on.
Hasto, menurutnya, juga tengah mengalihkan topik dari polemik tentang pengambilan keputusan Presiden Jokowi dan presiden pendahulunya ke persoalan Pemilu 2009.
Pada Pilpres 2009, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berpasangan dengan Boediono berhasil tampil sebagai pemenang.
Sementara jagoan PDIP, Megawati Soekarnoputri yang menggandeng Prabowo Subianto kalah.
“Hasto gagal move on untuk menerima kenyataan paslon yang diusung partainya kalah telak saat Pilpres dalam satu putaran,” ujar Kamhar kepada wartawan, Minggu (24/10).
Kamhar mengingatkan bahwa pada kontestasi Pilpres 2009 lalu ada dua incumbent yang berlaga. Selain SBY, ada juga Jusuf Kalla yang maju berpasangan dengan Wiranto.
Artinya, tidak mungkin ada pendekatan kekuasaan dilakukan oleh salah satu kontestan.
“Hasil-hasil survei dari seluruh lembaga survei juga tak jauh berbeda dengan hasil Pemilu saat itu yang memenangkan SBY-Boediono,” jelasnya.
“Jadi Hasto tak usah buat argumen yang ngawur dan sok intelek tapi tak punya justifikasi, hanya ilusi,” tuturnya.
Baginya, Hasto harus fokus pada agenda partai, sehingga janji kampanye bisa ditepati.
Kamhar menilai, hingga kini belum ada janji kampanye baik di bidang politik, ekonomi, dan hukum yang ditepati dan dilunasi.
“Hasto harus mengubah gaya politik posttruth yang terus dilakoninya. Ini kontraproduktif dalam ikhtiar pendewasaan demokrasi dan pendidikan politik bagi rakyat,” sambungnya.[pojoksatu]