GELORA.CO - Sidang pengujian UU 2/2021 tentang Perubahan Kedua Atas UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua (UU Otsus Papua), digelar secara daring oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (5/10).
Dalam sidang permohonan perkara nomor 47/PUU-XIX/2021 yang diajukan Majelis Rakyat Papua (MRP), para Pemohon yang diwakili oleh Ecoline Situmorang menyampaikan pokok perbaikan dalil permohonan terkait Pasal 38 ayat (2) UU Otsus Papua.
Dalam perbaikan itu Ecoline mengatakan, terhadap sifat yang kontradiktif dalam perumusan norma Pasal 38 ayat (2) yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi masyarakat rentan seperti masyarakat adat oleh kelompok pemodal.
"Dalam hal ini pemohon akan menguraikan fakta-fakta berdasarkan beberapa hasil riset ilmiah yang dilakukan oleh beberapa lembaga atau instansi," ujar Ecoline dikutip laman MK RI, Rabu dini hari (6/10).
Selain itu, Ecoline juga menyampaikan sejumlah perubahan yang terdapat dalam hasil revisi permohonan pihaknya ke di hadapan persidangan yang dipimpin Wakil Ketua MK, Aswanto.
"Yakni pada Pasal 59 ayat (3) UU Otsus Papua bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1), pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) UUD RI 1945," demikian Ecoline.
Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9) secara daring, para Pemohon yakni MRP sudah mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).
Para Pemohon merupakan representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU a quo.
Pemohon mengajukan permohonan tersebut karena telah mencermati perubahan UU Otsus Papua karena terdapat adanya klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hakkonstitusional rakyat orang asli Papua (OAP).
Mereka menjelaskan, perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat(2), Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat(2), dan ayat (4), Pasal 38 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 68A,dan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) UU 2/2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kemudian, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan norma Pasal 6 ayat (4)dan Pasal 6A ayat (4) bertentangan dengan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ‘peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah perdasus dan perdasi Provinsi Papua. (RMOL)