GELORA.CO - Advokat Publik YLBHI-LBH Makassar, Abdul Azis Dumpa menilai pelaporan narasumber ke polisi itu salah alamat. Karena yang dilaporkan adalah produk jurnalistik yang dilindungi UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Menurut Azis, jika keberatan terhadap produk jurnalistik, maka harus menempuh langkah-langkah melalui permintaan hak jawab atau hak koreksi, atau penyelesaian lewat mekanisme di Dewan Pers.
“Pelaporan narasumber dan penyelesaian sengketa pers harus ke Dewan Pers, bukan ke pidana,” kata Azis Dumpa.
Azis menegaskan, pihak kepolisian yang menerima laporan harus mengarahkan pelapor untuk melakukan Langkah-langkah itu. Hal itu tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri Nomor 02/DP/MoU/II/2017 Tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.
“Dalam nota kesepahaman antara pihak Kepolisian Republik Indonesia dan Dewan Pers di pasal 4 menegaskan pihak kepolisian harus mengarahkan kasus yang dilaporkan ke polisi agar diselesaikan melalui Dewan Pers terlebih dahulu,” kata Azis.
Dalam undang-undang pers, kata Azis, narasumber justru harus dilindungi. Hal tersebut terlihat pada keberadaan hak tolak di media.
Indonesia berada dalam situasi darurat kekerasan seksual. Kriminalisasi terhadap korban atau keluarga korban kekerasan seksual, akan membuat kasus ini sulit terungkap ke publik. Institusi kepolisian seharusnya melindungi korban maupun keluarganya.
LBH Makassar menanggapi kasus pelaporan terhadap narasumber yang memberikan pernyataan di media Project Multatuli ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Selatan, Sabtu, 16 Oktober 2021.
Pelapor S melaporkan Lydia (bukan nama sebenarnya) dengan aduan dugaan adanya tindak pidana pencemaran nama baik melalui ITE.
Dalam pengaduan tersebut, pelapor mengaku keberatan dengan pernyataan Lydia (nama samaran) di laporan investigasi Project Multatuli dengan judul berita “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan.”[suara]