GELORA.CO - Eks Pegawai KPK Sujanarko mengaku heran terhadap Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki tugas mengawasi dan mendalami setiap insan KPK yang diduga melakukan pelanggaran etik. Namun, Dewas tidak mendalami dan melakukan penyelidikan atas laporan yang disampaikan Novel Baswedan terkait kasus pelanggaran etik Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.
Dewas KPK tidak menindaklanjuti laporan terhadap Lili atas dugaan melakukan komunikasi dengan lawan calon kepala daerah serentak 2020 bernama Darno di Kabupaten Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara.
"Dewas tidak paham fungsinya. Bahkan pegawai internal lembaga sekecil apapun pasti menyelidiki aduan. Bukan penyelidikan dalam rangka menemukan pidana, tetapi pelanggaran etik," kata Sujanarko saat dikonfirmasi, Sabtu (23/10/2021).
Mantan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi atau PJKAKI KPK ini, menyoroti Dewas berulang kali melakukan pemanggilan yang juga tidak diatur dalam regulasi. Namun tetap dilakukan oleh Dewas.
"Bahkan pelapornya saja tidak dipanggil untuk diminta keterangan," ujarnya.
Sujanarko menilai Dewas KPK sepertinya sangat sensitif mengusut dugaan pelanggaran etik pimpinan KPK.
"Saya melihat dewas seperti tidak senang dan kurang bersemangat melihat ada aduan ke pimpinan KPK," tuturnya.
Melihat kondisi seperti itu, kata Sujanarko, perlu adanya perubahan dalam sistem kerja di Dewas KPK.
"Sudah waktunya peran dewas di evaluasi. Gaji dewas sudah sangat gede. Manfaat minim," imbuhnya.
Sebelumnya, Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris menyebut laporan terhadap Lili dianggap tidak memiliki bukti cukup kuat. Sehingga, Dewas tak dapat melanjutkan proses pelaporan tersebut.
"Laporan pengaduan baru diterima Dewas. Tapi materi laporan sumir," kata Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris dikonfirmasi, Jumat (22/10).
Syamsuddin menuturkan dalam laporan ke Dewas KPK, Novel tak menjelaskan dugaan pelanggaran etik apa hingga Lili sampai dilaporkan. Apalagi, kata dia, laporan terhadap insan KPK harus jelas secara fakta dan mempunyai bukti-bukti yang kuat.
"Perbuatan LPS (Lili Pintauli Siregar) yang diduga melanggar etik tidak dijelaskan apa saja. Setiap laporan pengaduan dugaan pelanggaran etik oleh insan KPK harus jelas apa fakta perbuatannya, kapan dilakukan, siapa saksinya, apa bukti-bukti awalnya," ucap Syamsuddin.
Diketahui, Dewas KPK hanya baru memberikan sanksi etik kepada Lili melakukan komunikasi dengan pihak berperkara yakni eks Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial. Dimana dalam putusan Lili diberikan sanksi berat dengan potongan gaji pokok 40 persen selama 12 bulan.
Dalam laporan Novel terhadap Lili ke Dewas KPK bahwa ada dugaan keterlibatan Lili dalam perkara di Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara.
"LPS terlibat dalam beberapa perkara lain terkait dengan perkara Labuhanbatu Utara yang saat itu juga kami tangani selaku penyidiknya," kata Novel melalui keterangan, Kamis (21/10).
"Dimana dugaan perbuatan saudara LPS saat itu adalah berkomunikasi dengan salah satu kontestan pilkada serentak Kabupaten Labuhanbatu Utara yaitu Darno," Novel menambahkan.
Dalam proses itu, kata Novel, Darno meminta agar Lili Pintauli secepatnya melakukan eksekusi penahanan terhadap Bupati Labura yang saat itu sudah ditetapkan tersangka oleh KPK yakni bernama Khairudin Syah.
Dimana, anak dari Khairudin Syah saat itu tengah maju dalam pilkada serentak 2020. Yakni calon kepala daerah untuk melawan Darno. Dengan tujuan mempercepat penahanan, agar suara pemilihan anak dari Khairuddin Syah jatuh.
"Ada permintaan dari dari saudara Darno kepada saudara LPS selaku Komisioner KPK dengan tujuan menjatuhkan suara dari anak tersangka Bupati Labura Khairuddin Syah yang saat itu juga menjadi salah satu kontestan pilkada, dimana fakta ini disampaikan tersangka Khairuddin Syah kepada Pelapor saat itu," ungkap Novel.[suara]