Krisis Ekonomi Korea Utara: Uang Kertas Diganti Kupon hingga Perintah Konsumsi Angsa Hias

Krisis Ekonomi Korea Utara: Uang Kertas Diganti Kupon hingga Perintah Konsumsi Angsa Hias

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Krisis ekonomi dan kekurangan pangan karena penguncian/pembatasan Covid-19 masih melanda Korea Utara.

Menurut berbagai media yang mengutip sumber tak dikenal di Korea Utara, bank sentral telah mencetak kupon uang senilai sekitar US$1 karena kekurangan uang kertas won Korea Utara.

Rimjin-gang, sebuah situs web berbasis di Jepang yang dioperasikan oleh pembelot Korea Utara, melaporkan kupon telah beredar setidaknya sejak Agustus.

Kekurangan uang kertas di Korea Utara terjadi sebagian karena kertas dan tinta untuk mata uang resmi tidak lagi datang dari China.

Sementara menurut NK News yang berbasis di Seoul, kekurangan uang kertas won mungkin juga diperburuk oleh tindakan keras pemerintah terhadap penggunaan mata uang asing.

Sebelumnya pemerintah Korea Utara telah melarang penggunaan mata uang asing terutama dolar AS dan renminbi China.

Reuters tidak dapat secara independen mengkonfirmasi penggunaan kupon tersebut.

Lebih lanjut, minggu ini media pemerintah Korea Utara telah mempromosikan konsumsi daging angsa hitam sebagai sumber makanan yang berharga.

"Daging angsa hitam itu enak dan memiliki nilai obat," kata surat kabar partai berkuasa Rodong Sinmun, Senin, sebagaimana dilansir Channel News Asia.

Media pemerintah yang tidak disebutkan namanya itu menambahkan bahwa pemulihan skala industri yang baru dikembangkan akan membantu meningkatkan kehidupan masyarakat.

Menurut NK News, penelitian tentang pengembangbiakan burung hias untuk makanan dimulai pada awal 2019.

Saat itu, pihak berwenang telah memberi tahu sekolah, pabrik, dan bisnis untuk mulai makan dan memelihara ikan dan hewan lain untuk meningkatkan swasembada.

Solusi tersebut dimaksudkan untuk mengatasi kegagalan pertanian skala besar yang melanda Korea Utara.

"Solusinya dimaksudkan untuk mengatasi kegagalan pertanian skala besar untuk menyediakan pasokan makanan yang memadai ke seluruh negeri dan pembatasan terkait Covid-19 pemerintah baru-baru ini yang sebagian besar telah memblokir makanan dan impor lainnya sejak awal 2020," tulis Colin Zwirko, koresponden analitik senior NK News.

Perekonomian Korea Utara Mulai Membaik

Dari mencetak kupon sebagai uang pengganti hingga membiakkan angsa hitam hias untuk dimakan, Korea Utara dipaksa untuk berinovasi untuk menangani krisis ekonomi.

Dengan berakhirnya panen, pengamat internasional mengatakan situasi pangan dan ekonomi Korea Utara berbahaya.

Ada tanda-tanda bahwa negara itu meningkatkan perdagangan dan menerima pengiriman besar bantuan kemanusiaan melalui China.

Badan Intelijen Korea Selatan mengatakan pada sidang parlemen tertutup bahwa pemimpin Korea Utara Kim Jong Un telah mengeluarkan perintah yang menyerukan agar setiap butir beras diamankan dan upaya habis-habisan diutamakan untuk pertanian.

Namun, badan mata-mata itu menilai panen di Korea Utara tahun ini mungkin lebih baik daripada tahun lalu karena cuaca yang lebih cerah.

Perekonomian Korea Utara juga akan membaik dengan mengambil langkah-langkah untuk membuka kembali perbatasannya dengan China dan Rusia dalam beberapa bulan mendatang, kata anggota parlemen kepada wartawan.

Untuk diketahui, Korea Utara telah lama menderita kekurangan pangan.

Menurut pengamat, hal itu terjadi karena kesalahan dalam mengurus perekonomian negara itu.

Kondisi itu diperburuk oleh sanksi internasional atas senjata nuklirnya, bencana alam, dan sekarang pandemi Covid-19, yang mendorong penguncian perbatasan yang belum pernah terjadi sebelumnya di sana.

Kim Jong Un telah mengakui situasi pangan yang "tegang" dan meminta maaf atas pengorbanan yang harus dilakukan warga untuk mencegah wabah virus corona.

Namun dia juga mengatakan ekonomi membaik tahun ini, dan Korea Utara membantah laporan dari penyelidik PBB bulan ini yang mengatakan ribuan orang yang paling rentan berisiko kelaparan.[tribunnews]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita