GELORA.CO - Sebuah komisi penyelidikan independen menemukan bahwa lebih dari 200 ribu anak di bawah umur telah dilecehkan oleh ribuan anggota klerus (rohaniwan) Katolik di Prancis selama tujuh dekade terakhir.
Diwartakan France24, BBC, hingga CNN, temuan itu diungkap oleh Komisi Independen untuk Pelecehan Seksual di Gereja (CIASE) pada Minggu (3/10), dengan laporan panjangnya yang mencakup 2.500 halaman akan dirilis Selasa (5/10) waktu setempat.
Laporan CIASE itu memperkirakan bahwa 216 ribu anak di bawah umur telah dilecehkan antara tahun 1950 hingga 2020. Jumlah ini meningkat menjadi sekitar 330 ribu ketika korban yang dihitung ikut meliputi anak yang dilecehkan oleh pelaku yang bukan pendeta, tetapi oknum masih memiliki hubungan lain dengan gereja Prancis, seperti sekolah Katolik dan program pemuda.
Presiden CIASE, Jean-Marc Sauve, lalu mengungkap bahwa jumlah pendeta atau anggota gereja yang menjadi pelaku pelecehan mencapai antara 2.900 hingga 3.200 orang. Para pelaku pedofilia ini diperkirakan telah bekerja di Gereja Katolik Prancis sejak 1950-an. Sementara diketahui, dari tahun itu, total jumlah pendeta dan rohaniawan Katolik adalah sebanyak 115 ribu orang.
Baca juga: Miris, Komisi Penyelidikan Independen Temukan Adanya 3.200 Pedofil di dalam Gereja Prancis
Temuan CIASE itu didasarkan pada arsip-arsip gereja, pengadilan dan polisi, serta wawancara dengan para korban. Adapun penyelidikan intensif dilakukan oleh gereja Katolik Prancis sejak tahun 2018, menyusul sejumlah skandal di negara-negara lain.
Angka-angka itu kemudian diekstrapolasi dari survei oleh Institut Kesehatan dan Penelitian Medis Nasional Prancis. Lembaga ini bekerja dengan lembaga pemungutan suara IFOP untuk menyurvei sampel nasional yang representatif dari 28 ribu orang lebih. Para responden berusia di atas 18 tahun dan disurvei secara online antara 25 November 2020 hingga 28 Januari 2021.
Laporan tersebut memperkirakan jumlah orang yang selamat secara nasional dari waktu ke waktu berdasarkan jumlah responden survei yang mengatakan bahwa mereka telah dilecehkan. Survei nasional datang di samping panggilan publik untuk kesaksian korban.
Namun, menurut Sauve, angka-angka korban maupun pelaku yang ditemukan hanya 'perkiraan minimal'.
"Itu perkiraan minimal," katanya.
Sauve juga mengatakan bahwa anak-anak lebih mungkin dilecehkan di lingkungan Gereja Katolik daripada di sekolah yang dikelola negara atau di kamp musim panas, atau di lingkungan lain selain keluarga.
"Gereja Katolik, setelah lingkaran keluarga dan teman-teman, adalah lingkungan di mana prevalensi pelecehan adalah yang tertinggi dengan selisih yang signifikan.
"Masalahnya sistemik, dan kekerasan seksual tidak terbatas pada 'sejumlah kambing hitam yang menyimpang dari kawanan'. Ketika diberi tahu tentang pelanggaran, (gereja) tidak mengambil tindakan tegas yang diperlukan untuk melindungi anak-anak dari para predator," ucap Sauve saat berada di konferensi pers dan saat berbicara dengan CNN sebelum memublikasikan laporannya.
Olivier Savignac, kepala asosiasi korban 'Parler et Revivre', yang berkontribusi dalam penyelidikan, juga telah mengonfirmasi hasil temuan CIASE. Savignac pun mengaku prihatin lantaran dari jumlah data, rasio pelaku dan korban adalah 1 dibanding 70. Ini berarti rata-rata satu pelaku memiliki 70 korban.
"Ini sangat meresahkan, karena rasio antara 216 ribu dan 3 ribu, adalah satu penyerang untuk 70 korban. Itu menakutkan bagi masyarakat Prancis, bagi Gereja Katolik," katanya.
CIASE dibentuk pada 2018 oleh Konferensi Wali Gereja Prancis (CEF) dan Konferensi Kongregasi Nasional (CORREF) sebagai tanggapan atas sejumlah skandal yang mengguncang gereja di Prancis dan di seluruh dunia.
Pembentukannya juga terjadi setelah Paus Fransiskus mengesahkan tindakan penting yang mewajibkan mereka yang mengetahui tentang pelecehan seksual di gereja Katolik untuk melaporkannya kepada para atasan.
Anggota CIASE terdiri dari para dokter, sejarawan, sosiolog dan teolog, dengan tugas singkatnya adalah untuk menyelidiki tuduhan pelecehan seks anak oleh para ulama Katolik sejak 1950-an.
'Sebuah bom'
Laporan tersebut akan disampaikan kepada CEF dan CORREF dan dirilis pada konferensi pers hari Selasa yang mengundang perwakilan dari asosiasi korban.
"Ini tidak akan mudah bagi siapa pun," kata Philippe Portier, seorang sosiolog yang menjadi bagian dari komisi tersebut.
"Ini akan memiliki efek bom," tambah Savignac.
Uskup Eric de Moulins-Beaufort, presiden CEF, juga mengaku khawatir karena laporan itu akan mengungkapkan 'tokoh-tokoh penting dan menakutkan'.
Sementara itu, Christopher Lamb, dari publikasi Katolik Roma The Tablet, mengatakan kepada BBC bahwa skandal pelecehan telah menjerumuskan gereja ke dalam 'krisis terbesarnya dalam 500 tahun'.
Awal tahun ini, Paus Fransiskus mengubah undang-undang gereja Katolik untuk secara eksplisit mengkriminalisasi pelecehan seksual. Langkah itu menjadi perombakan terbesar dari hukum pidana selama beberapa dekade.
Di bawah aturan baru itu, pelecehan seks, tindakan 'grooming' terhadap anak di bawah umur, kepemilikan pornografi anak dan menutupi pelecehan dianggap sebagai pelanggaran di bawah Hukum Kanonik.[akurat]