GELORA.CO - Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo, Usman Kansong mengatakan bahwa Kementeriannya hanya berfokus dalam memerangi konten negatif di media sosial. Namun, tidak mengurus pendengung atau buzzer.
“Kominfo berurusan dengan kontennya, bukan dengan orangnya, bukan dengan buzzer atau influencer,” kata Usman dalam webinar yang diadakan oleh Lembaga Hikmah Kebijakan Publik (LHKP) Muhammadiyah pada 30 September 2021.
Usman juga menjelaskan Kominfo telah memiliki regulasi mengenai konten misinformasi dan disinformasi yang tersebar di internet. Salah satunya UU ITE, UU Pornografi, serta PP No. 71 tahun 2019. Kominfo juga menindak konten negatif dengan berbagai cara. Salah satunya dengan menggunakan kontra narasi dan menghapus (take down) konten tersebut dari platform digital seperti Twitter, Facebook, dan Instagram.
Selain itu, Usman memaparkan Kominfo memiliki tiga cara dalam membersihkan konten negatif di internet. Pertama melalui teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). “Kami menyebutnya AIS karena kerjanya mengais konten-konten negatif di media sosial,” ujar Usman.
Lebih lanjut Usman mengatakan, “Namun, kami paham bahwa mesin juga mempunyai kelemahan. Oleh karena itu, ada cara kedua, yaitu membentuk tim khusus untuk memantau konten di media sosial.”
Usman juga menambahkan, mesin dan tim pemantau masih memiliki kelemahan. Sehingga Kominfo juga mewadahi laporan masyarakat sebagai cara memerangi konten negatif di internet dan media sosial.
“Laporan masyarakat sangat penting. Masyarakat yang menemukan konten negatif dapat melapor ke situs aduankonten.id,” tambah Usman.
Usman memaparkan konten negatif yang dimaksud dalam UU terdiri dari beberapa kategori, yaitu pornografi, penipuan online, perjudian, ujaran kebencian, radikalisme dan terorisme, dan sebagainya.
Kominfo mengklaim selama 2018 hingga 2020 telah banyak menghapus konten negatif di internet dan media sosial. “Dua jutaan konten negatif kita takedown. Sebagian besar terkait dengan pornografi, yaitu satu jutaan konten porno, dan sebagian besar lainnya soal radikalisme sebanyak 500 ribu,” ujar Usman. (tempo)