OLEH: HENRYKUS SIHALOHO
HARI ini, Kantor Berita Politik RMOL.ID melaporkan sejumlah keprihatinan Ferry Juliantono kepada pemerintah. Berbagai keprihatinan itu Ferry sampaikan dalam dialog Renungan Hari Sumpah Pemuda di Gedung Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) Wilayah DKI Jakarta di Bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (28/10).
Anggota DPR RI dari Gerindra ini antara lain mempersoalkan pembiaran negara terhadap provokasi coast guard milik Tiongkok yang mondar-mandir di Laut Natuna Utara. Ferry pun prihatin karena negara tidak menyampaikan nota protes pada kapal Tiongkok yang melakukan riset di wilayah ZEE kita.
Yang menarik, politikus Gerindra ini juga mempersoalkan kemanjaan yang diberikan Pemerintah kepada Tiongkok. Salah satunya dengan mengizinkan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang tidak begitu dibutuhkan masyarakat Indonesia didanai dari APBN.
Di saat yang lain Ferry mempertanyakan diamnya pemerintah pada nasib Garuda yang berada di ujung tanduk.
Prihatin atas Keprihatinan Ferry
Kita memberi apresiasi atas keprihatinan Ferry pada Pemerintah. Tetapi di saat yang bersamaan kita juga prihatin kepadanya atas “ketidaktahuannya” soal tupoksi DPR. Toh DPR dapat menolak (baca: membatalkan) proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung didanai dari APBN, dengan alasan dua hal ini:
Pertama, sedari awal proyek mercusuar berbiaya yang jauh dari masuk akal ini (sekitar Rp800 M per kilometer) sudah dinyatakan dengan lantang oleh Presiden Jokowi tidak akan didanai dari APBN. Kedua, kedudukan DPR dalam soal anggaran lebih tinggi dari Presiden.
Dalam kasus ini Ferry sebagai anggota DPR dapat mengingatkan Presiden untuk meminta pertanggungjawaban mantan Menteri BUMN Rini Soemarno. Ferry pun bisa mengingatkan Presiden potensi berhentinya kereta ini beroperasi bahkan sebelum 2024. Presiden dapat belajar potensi yang sudah di depan mata seperti itu pada Bandara Kertajati dan Bandara JB Soedirman, Purbalingga.
Soal nasib Garuda, Ferry tidak boleh abai pada tawaran ekonom senior Rizal Ramli. Tawaran yang sudah berulang kali beliau sampaikan ini tidak hanya menguntungkan negara dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka jauh ke depan.
Apalagi tawaran dengan imbalan penghapusan presidential threshold (PT) ini jelas tidak merugikan DPR dan Presiden Jokowi sama sekali, kecuali Presiden Jokowi masih berminat memperpanjang masa jabatannya dengan berbagai akal bulus atau menambah periode melalui amandemen UUD. Seperti diketahui, RR, demikian ekonom senior ini biasa dipanggil, tidak meminta ekstra fee sama sekali.
Bila Presiden dan mayoritas anggota DPR visioner dan negarawan, mereka akan menyambut baik tawaran ini karena ini bisa menjadi wahana bagi rakyat memilih pemimpin yang terbaik dari banyak pilihan, bukan dari pilihan yang terbatas, apalagi bila hanya ada dua pilihan. Ingat, salah satu prinsip dalam pemberdayaan masyarakat yang tidak boleh diabaikan adalah memperbanyak pilihan bagi mereka.
Bila kita mengenang apa yang dilakukan para pemuda 93 tahun yang lalu, kita mengingat titik tolak perjuangan mereka yang berangkat dari kata dasar “satu” yang sarat makna. Dengan kata itu mereka mengajak bangsa ini untuk merajut kebhinnekaan menjadi Bhinneka Tunggal Ika.
Presiden dan DPR harus sadar bahwa PT yang dipatok pada angka 20% tidak hanya telah memasung rakyat pada 2 pilihan, tetapi telah melawan semangat yang digaungkan para pemuda sejak Kongres Pemuda I dan mencapai puncaknya pada Kongres Pemuda II itu.
Kini saat yang baik untuk DPR dan Presiden untuk menebus dosa besar mereka yang telah melahirkan keterbelahan bangsa yang hanya menguntungkan oligarki dan antek-antek mereka yang hari-hari ini berwujud influenceRp dan buzzeRp.
Bila DPR dan Presiden masih menolak, kita bukan hanya prihatin pada anggota DPR yang bernama Ferry Juliantono, tetapi pada Presiden dan hampir seluruh anggota DPR.
Meski mayoritas rakyat kita panjang sabar, DPR sebagai wakil rakyat harus tetap ingat mereka memiliki batas kesabaran. Memang, sementara ini dengan akal bulus, Pemerintah dan DPR bisa meninabobokan mereka dengan berupa-rupa success story sambil membangun cerita kegagalan satu-dua pendahulunya.
Sesungguhnya, Pemerintah dan DPR bisa mengambil pembelajaran dari sentilan sejumlah komika yang menyuarakan keresahan rakyat, bahkan dari seorang pengacara kondang Hotman Paris.
Pemerintah dan DPR harus membaca tanda-tanda zaman manakala seorang pengacara superkaya sampai prihatin pada oligarki yang memakai “tangan” Pemerintah memeras isi kantong rakyat melalui barang dagangan mereka yang bernama PCR dan antigen yang biayanya di Indonesia 10 kali lebih mahal dari India.
Mungkin karena memiliki waktu yang terbatas, dalam dialog Renungan Hari Sumpah Pemuda di atas Ferry Juliantono tidak sempat menyinggung contoh-contoh lain kemanjaan yang diberikan Pemerintah kepada Tiongkok. Termasuk dalam hal investasi di tambang nikel dan di masa lalu ketika mereka mendapatkan harga gas dari Tangguh yang sangat murah.
Di hari yang lain rakyat berharap Ferry sebagai wakil rakyat harus mengingatkan Pemerintah agar membelanjakan uang rakyat dengan sehemat mungkin, termasuk dalam belanja vaksin dan obat-obatan.
Salah dua caranya adalah dengan belanja dari berbagai produsen dari beragam negara seraya mendorong dan memfasilitasi dokter, peneliti, dan perusahaan farmasi dalam negeri menemukan vaksin dan obat-obatan buatan putra-putri bangsa sendiri.
Bila DPR tidak lagi berkenan menyuarakan suara rakyat yang tak bersuara karena dibungkam oleh teriakan dan pekikan yang sangat nyaring para influenceRp dan buzzeRp, ke mana lagi rakyat harus mengadukan nasibnya? Yang pasti, tidak mungkin kepada rumput yang bergoyang.
(Penulis adalah dosen Universitas Katolik Santo Thomas.)