Tanggal 23-25 Desember Muktamar NU ke-34 akan digelar di Lampung. Berbagai media sudah meramaikannya. Seksi, karena NU adalah ormas keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Apalagi, akhir-akhir ini, keterlibatan NU dengan dinamika politik praktis seringkali mendapat sorotan.
Sejumlah kandidat sudah mulai muncul. Sebagian ada yang sudah deklarasi dan menyatakan diri untuk maju menjadi calon ketua PBNU. Etis dan pantaskah membuat "deklarasi" untuk pencalonan ketua PBNU? Mengingat NU itu organisasi masyarakat dan keagamaan. Organisasi masyarakat menuntut pengabdian, dan organisasi keagamaan berorientasi pada dakwah. Termasuk dakwah lewat pendidikan madrasah. Ini adalah Khittoh NU.
Dalam sejarah, NU pernah memilih ketuanya dengan tiga sistem. Pertama, sistem formatur. H. Hasan Dipo adalah ketua PBNU pertama yang dipilih oleh sejumlah ulama pendiri NU.
Sistem formatur semacam ini relatif lebih sempit peluangnya untuk diitervensi, dan lebih kecil kemungkinannya terjadi intrik. Mengingat tim formatur adalah ulama-ulama khos dalam jumlah yang sangat terbatas. Inilah Khittoh dalam sistem pemilihan ketua NU.
Dalam sistem pemilihan semacam ini, tidak memungkinkan ada timses. Juga tidak perlu biaya untuk berkampanye. Karena NU itu ormas. Beda dengan parpol. Untuk jadi ketua umum parpol, gak kecil duit yang harus disiapkan untuk beli suara.
Kedua, ahlul halli wal aqdi. Sistem penunjukan. Pada Muktamar ke-27, Gus Dur ditunjuk oleh Kiai Sa'ad Syamsul Arifin menjadi ketua PBNU. Ini agak sulit untuk dipraktekkan saat ini terkait dengan siapa sosok ulama yang diberi posisi khusus untuk menunjuk ketua PBNU. Di NU, ulama khosnya bukan hanya satu orang.
Ketiga, pemilihan langsung. Dalam pemilihan langsung, DPC dan DPW-lah yang memiliki hak suara. Masing-masing mempunyai perwakilan untuk memilih calon ketua PBNU.
Dalam pemilihan langsung, meski terkesan demokratis, ini rawan intervensi. Baik intervensi parpol, penguasa atau yang lain. Sebab, pintu untuk melakukan intervensi sangat luas yaitu melalui DPC dan DPW. Tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang berupaya membujuk dan merayu DPC dan DPW untuk memilih calon tertentu. Ulama kok dibujuk... Para pembujuk akan menjawab: mereka juga manusia. Maksud lu?
Tidak sepatutnya calon ketua PBNU memiliki timses. Ini akan rawan terjadinya money politics. Sampai di sini, muktamar rentan kehilangan marwah dan kewibawaannya jika ada pihak-pihak (sebut saja oknum) yang berambisi untuk menjadi ketua PBNU.
Dalam sistem pemilihan langsung, pernah terjadi gugatan hukum di Muktamar Cipasung. Saat itu, Abu Hasan kalah dari Gus Dur, lalu mendirikan KPPNU. Abu Hasan juga membuat tuntutan ke pengadilan. Hal semacam ini mestinya tidak perlu terjadi.
Sistem pemilihan langsung telah disepakati untuk Muktamar ke-34 di Lampung. Tugas berikutnya adalah mengawal jalannya Muktamar, dan memastikan tidak ada intervensi ataupun money politics. Karena ini akan merusak wajah ulama, organisasi NU dan juga kaum Nahdhiyin.
Untuk menghindari hal-hal yang berpotensi mengotori Muktamar, maka harus ada kriteria yang ketat terkait Calon ketua PBNU.
1. Calon ketua PBNU mesti ulama beneran. Alim, punya integritas, dan diutamakan yang punya pesantren (pengasuh pesantren). Sebab, ketua PBNU nantinya akan menjadi referensi, panutan dan keteladanan.
2. Punya pengalaman organisasi ke-NU-an. Setidaknya pernah aktif sebagai pengurus NU di pusat atau wilayah. Ini penting, karena dalam mengelola organisasi sebesar NU, mesti ada pengalaman. Banyak PR yang masih harus dirapikan di NU. Ini tugas yang tidak ringan.
3. Bukan ulama politik. Jika NU dipimpin oleh bukan ulama politik, ini akan jauh lebih elegan. Kalau terpaksa, setidaknya, calon sudah lama tidak aktif di politik praktis. Supaya tidak ada dikotomi kepentingan. Terpaksa lagi, ya tidak boleh merangkap jabatan politik. Yang terakhir, memang agak mengkhawatirkan. Sebab, mengurus NU beda dengan mengurus politik. Secara mental dan standar moralnya beda. Beda banget.
4. Tidak berambisi terhadap jabatan sebagai ketua PBNU. Sebab, NU itu organisasi dakwah dan pengabdian. Bukan organisasi profesi atau karir. Bukan juga organisasi politik. NU mesti dipimpin oleh ulama yang punya jiwa pengabdian dan dakwah. Ulamanya ulama. Ulama yang muhlisun: ikhlas berjuang dan ikhlas mengabdi. Inilah yang dahulu dicontohkan Mbah Yai Hasyim Asy'ari dan Mbah Yai Hasbullah.
Jika ada oknum yang berambisi, bikin tim sukses, apalagi menggunakan politik uang, (ini hanya kekhawatiran yang semoga tidak pernah terjadi) akan merusak marwah NU sebagai organisasi sosial keagamaan.
NU harus menjaga Khittoh perjuangan, pengabdian dan dakwah. Dan ini mesti diawali dari Muktamar yang akan menyerahkan amanah luhur ini kepada ketua PBNU yang baru.
Jakarta, 13 Oktober 2021
Tony Rosyid
Wong NU dan Alumni Pesantren Sarang