OLEH: YUDHI HERTANTO
SENYAP! Dinamika kehidupan kampus dalam merespon perubahan sosial tercermin melalui corong komunikasi dan publikasi yang termuat dalam ruang pers kampus.
Kemunculan pers kampus dapat dimaknai sebagai sarana dalam memunculkan ide dan gagasan yang diusung oleh kelompok intelektual mahasiswa sebagai wacana alternatif.
Tidak banyak pers mahasiswa yang tersisa serta memiliki dampak secara sosial, batas wilayahnya terlokalisir di tingkat kampus secara internal, menjadi konsumsi terbatas.
Pada kondisi cekaknya pers kampus, kita kehilangan narasi dan literasi oposisi dari kehidupan sosial, karena arus dominan informasi menjadi seolah hak prerogatif kekuasaan.
Situasi serupa dinyatakan secara Fernando Baez, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, 2017, bahwa kehancuran media layaknya buku, sesungguhnya menghilangkan memori kolektif dan keberadaan beragam pemikiran berbeda.
Begitu pula pada seleksi alam pers mahasiswa. Perlu redefinisi tentang pers mahasiswa, karena banyak universitas membangun media komunikasi kehumasan, sebagai alat penjaga citra, jauh dari esensinya mewakili suara publik.
Keberadaan pers mahasiswa, tidak hanya menjadi produk khas dari kaum terpelajar berjuluk mahasiswa, dengan domain bahasan terikat secara keilmuan dalam kebebasan akademik, sekaligus kebebasan mimbar akademik.
Bagian yang terakhir, kebebasan mimbar akademik menyiratkan arti bahwa ada keharusan bagi kaum intelektual untuk menyuarakan ide-ide pencerahan secara eksternal, kepada publik.
Cakupan pers mahasiswa tidak melulu berkutat di seputar persoalan akademik dan ilmu an sich, dapat meluaskan pandangannya pada problematika sosial sebagai masalah keseharian.
Dengan begitu, ada relasi integral tidak terpisah antara mahasiswa sebagai bagian dari kehidupan masyarakat disekitarnya. Dibutuhkan kejernihan dan sensitivitas mahasiwa sebagai agen moral.
Problem utamanya, ruang pers mahasiswa menyempit, semakin surut, menciut bersama dengan pragmatisme industri pendidikan. Tidak ada lagi dialog hangat multiperspektif, sifat perkuliahan menjadi monolitik.
Kehilangan minat, disertai dengan transformasi kampus yang bercorak industri, hingga semakin ketatnya jadwal kurikulum akademik, membuat tekanan serius bagi kehidupan pers mahasiswa.
Ketiadaan waktu, serta anggapan bahwa pers mahasiswa adalah tugas sampingan, termasuk intervensi kampus melalui mekanisme pendanaan kegiatan, (Arismunandar, 2012), mengakibatkan tenggelamnya eksistensi pers mahasiswa.
Padahal banyak dampak positif dari kehadiran pers mahasiswa, bila kuat mengakar pada kepentingan publik, (i) mendorong pemahaman kritis, (ii) mendekatkan pada realitas sosial, (iii) medium penyampaian pesan mewakili publik.
Pilar yang perlu ditambahkan dalam upaya menumbuhkan kembali minat pada pers mahasiswa, adalah demokratisasi kampus.
Otonomi dalam konteks laku gerak dan pandu moral harus diterjemahkan secara mendalam, bukan sekedar soal mekanisme pembiayaan universitas.
Ibarat pohon, pers kampus hanya tumbuh subur bila akarnya mengikat kuat pada problematika publik, tumbuh di ruang demokratis, dengan batang dan dahan menjulang setinggi langit.
Kita tentu berharap hadirnya kembali pers mahasiswa yang mampu bergaung di kancah kontestasi gagasan.
Terlebih, ketika publik semakin bising karena disrupsi teknologi menghadirkan sesaknya polusi informasi, dari dengungan buzzer serta influencer sebagai wakil tangan-tangan pemilik kepentingan.
(Penulis tengah menempuh Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid)