Oleh: Denny Indrayana*
RILIS saya “Presiden Jokowi, Haji Isam, Advokat Jurkani, dan Politik Bisnis Batu Bara di Kalimantan Selatan” tanggal 24 Oktober 2021 mendapatkan pemberitaan yang cukup luas secara nasional, meskipun tidak ada media Kalimantan Selatan (Kalsel) sendiri yang mengangkatnya, mungkin bisa diduga mengapa.
Tidak mudah agaknya buat media Kalsel memberitakan isu tersebut. Apalagi di masa lalu, minimal ada dua wartawan yang masuk penjara ketika mengangkat berita sejenis. Salah satunya bahkan meninggal dunia di penjara.
Terkait Advokat Jurkani, setelah pembacokan biadab yang menyebabkan luka parah di kaki dan tangannya hingga nyaris putus, korban masih belum sadarkan diri setelah operasi yang dilakukan Jumat lalu (29/10).
Soal penganiayaan terhadap Jurkani adalah tantangan berat bagi aparat kepolisian untuk mengungkap siapa pelaku utamanya, dan tidak hanya menangkap pelaku lapangan, apalagi hanya dengan skenario akibat pengaruh minuman keras semata.
Pembacokan tersebut jelas terkait dengan tindak pidana illegal mining di Kabupaten Tanah Bumbu yang tidak sulit dibuktikan, karena puluhan alat berat yang mengerjakannya dengan mudah bisa ditemukan di lapangan, dan tentu saja gampang diidentifikasi pemiliknya.
Kali ini, izinkan saya menyampaikan tanggapan balik atas komentar “Istana” melalui Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono yang dikutip beberapa portal online. Tanggapan ini tentu saja berisiko, tetapi tetap perlu saya lakukan, dengan niat untuk pembelajaran bersama.
Sama sekali tidak ada maksud personal. Ini lebih merupakan masukan institusional kepada Lembaga Kepresidenan yang harus sama-sama kita jaga marwahnya.
Tidak pula ada maksud apa-apa kepada pemilik Jhonlin Group, Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam. Saya tidak kenal Beliau, tidak pernah bertemu.
Tanggapan ini semata-mata niat baik untuk kita sama-sama menjaga prinsip good governance dalam pemerintahan, dan good corporate governance dalam kegiatan bisnis di tanah air.
Dari pemberitaan yang saya baca, ada tiga poin utama yang disampaikan oleh Stafsus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono.
Pertama, Ibu Dini menegaskan bahwa yang diduga terlibat dalam kasus suap pajak adalah PT Jhonlin Baratama. Sedangkan pabrik biodiesel yang diresmikan Presiden Jokowi merupakan milik PT Jhonlin Agro Raya.
“Meskipun berada dalam group perusahaan yang sama, namun dua perusahaan tersebut adalah entitas hukum yang berbeda, bidang usaha berbeda, memiliki susunan direksi dan dewan komisaris yang juga berbeda,” ujar Ibu Dini.
Kedua, Dini menjelaskan, kehadiran Presiden Jokowi dalam peresmian pabrik biodiesel adalah dalam rangka mendorong hilirisasi industri.
“Dalam hal ini Presiden juga ingin menekankan pentingnya industri biodiesel didorong dalam rangka meningkatkan ketahanan energi nasional, serta menekan defisit neraca perdagangan akibat impor solar”.
Ketiga, terkait kasus yang sedang berjalan di KPK, Dini menegaskan, tidak ada intervensi dari Jokowi.
“Terkait proses yang tengah berlangsung di KPK atas ‘sister company’ dari pabrik biodiesel tersebut, silakan terus berjalan dalam koridornya sendiri, diproses secara independen oleh KPK sesuai aturan hukum yang berlaku”.
Jangan Sampai Menjadi Pintu Masuk Impeachment
Atas tanggapan tersebut, izinkan saya menyampaikan terima kasih. Adalah suatu kehormatan bagi rakyat biasa seperti saya mendapatkan tanggapan dari lingkungan Istana Presiden.
Izinkan saya menanggapi balik, sekali lagi sebagai bentuk kecintaan saya kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, agar tepat dalam mengambil keputusan dan kebijakan, utamanya di bidang hukum dan ketatanegaraan.
Untuk tanggapan kali ini, saya akan berfokus pada poin pertama yang disampaikan Stafsus Presiden Bidang Hukum, bahwa ada perbedaan entitas hukum antara PT Jhonlin Baratama yang diduga terjerat perkara suap pajak di KPK dengan PT Jhonlin Agro Raya yang proyek biodieselnya diresmikan Presiden Jokowi.
Saya akan berbicara lebih banyak soal “Penerima Manfaat” (beneficiary ownership), yang membuktikan bahwa kedua perseroan tersebut tidak bisa secara sederhana dilihat sebagai entitas terpisah semata, karena sebenarnya dimiliki dan dikontrol oleh orang yang sama: Haji Isam.
Sedangkan untuk poin kedua soal mendukung hilirisasi industri, bukan kapasitas saya untuk menanggapi. Meskipun timbul pertanyaan, mengapa harus pabrik yang dimiliki Jhonlin Group, mengapa bukan yang lain?
Apakah peresmian tersebut lebih terkait dengan kedekatan Haji Isam yang sempat diberitakan sebagai pengurus pendanaan dalam tim kampanye Jokowi dalam Pilpres 2019?
Untuk poin ketiga, pernyataan tidak ada intervensi atas dugaan kasus di KPK, tentu harus diapresiasi, meskipun pada saat yang sama juga perlu dikritisi.
Sebagaimana saya sampaikan di rilis awal, kehadiran Presiden Jokowi dapat disalahmaknai sebagai bentuk perlindungan hukum kepada Jhonlin Group dan Haji Isam atas dugaan kasus korupsinya di KPK.
Di ketatanegaraan kita, posisi Presiden adalah salah satu yang paling sentral dalam politik hukum penanganan perkara.
Presiden punya kewenangan seleksi atas pimpinan penegak hukum, Kapolri, Jaksa Agung, Pimpinan KPK melalui panitia seleksi, dan lain-lain.
Maka langkah-tindak dan kebijakan Presiden di bidang hukum harus sangat hati-hati dan bijaksana (prudent).
Kekuranghati-hatian bukan hanya dapat disalahmaknai sebagai bentuk intervensi, bahkan lebih jauh dapat dianggap sebagai potensi tindak pidana menghalang-halangi penindakan dugaan kasus korupsi (obstruction of justice).
Apalagi rumusan pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan bentuk menggagalkan penanganan suatu perkara korupsi bisa langsung ataupun tidak langsung (direct or indirect). Lebih jelasnya kami kutipkan bunyi pasal tersebut secara utuh, yaitu:
“Setiap orang yang dengan sengaja merintangi, atau menggagalkan langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga tahun) dan paling lama 12 (dua belas tahun) atau denda paling sedikit Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah)”.
Saya sama sekali tidak ingin Presiden Jokowi akan berhadap-hadapan dengan proses pemakzulan (impeachment) padahal berniat mulia meresmikan proyek biodiesel yang strategis.
Apalagi korupsi adalah salah satu tindak pidana yang bisa menjadi pintu masuk pemecatan presiden (impeachment article) berdasarkan Pasal 7A UUD 1945.
Tentu saja dari kacamata politik, proses impeachment kepada Presiden Jokowi nyaris mutahil, karena koalisi parpol pemerintah di DPR adalah mayoritas mutlak.
Namun, tetap saja secara hukum, tidak boleh ada kesalahan sekecil apapun yang bisa membuka proses penuntutan pemakzulan kepada presiden.
Kehati-hatian dalam mengawal presiden agar tidak salah dalam mengambil keputusan terkait hukum adalah keharusan.
Sebagai Staf Khusus Presiden di Bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan KKN (2008-2011), kami berpengalaman mengawal presiden, termasuk dalam setiap kunjungan kerja ke daerah.
Salah satu yang kami pastikan adalah menjamin rencana kunjungan tersebut clean and clear dari jebakan masalah hukum. Tidak sedikit permohonan audiensi yang tidak dikabulkan, ataupun permintaan menginap di suatu hotel yang kami tolak, karena lahan/hotel tersebut sedang terjerat perkara hukum.
Sebagai magnet kekuasaan Number One di tanah air, adalah wajar bila setiap pihak yang sedang terjerat dugaan perkara hukum berusaha untuk mendekat, dengan nawaitu mendapatkan politik proteksi/perlindungan hukum dari Presiden.
Mengidentifikasi Pemilik Manfaat
Presiden Jokowi harus diberikan apresiasi tinggi karena menerbitkan Peraturan Presiden 13/2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Indonesia dihargai secara internasional karena telah selangkah di depan dalam mengidentifikasi kejahatan, melalui identifikasi pemilik sebenarnya dari suatu korporasi tersebut.
Sudah jamak dipahami, bahwa pengusaha seringkali salah memanfaatkan pertanggungjawaban terbatas dalam perseroan, untuk menghindar dari pertanggungjawaban hukum.
Dalam kacamata inilah, mengatakan bahwa PT Jhonlin Baratama dan PT Jhonlin Agro Raya adalah dua entitas hukum yang berbeda adalah suatu kesimpulan yang terburu-buru dan keliru.
Tentu saja secara sekilas mata, PT Jhonlin Baratama yang sedang terjerat dugaan korupsi penyuapan pajak di KPK dan PT Jhonlin Agro Raya yang proyek biodieselnya diresmikan Presiden Jokowi adalah dua perusahaan berbeda.
Apalagi kalau Stafsus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono hanya mendasarkan pada “bidang usaha berbeda, memiliki susunan direksi dan dewan komisaris yang juga berbeda”.
Siapapun yang hanya menggunakan parameter itu semata akan mudah terkelabui.
Kita semua dan lingkaran Istana tentu harus membaca dengan cermat Peraturan Presiden 13/2018 yang diterbitkan Presiden Jokowi sendiri untuk mengetahui “Pemilik Manfaat” sebenarnya (beneficiary ownership) dari suatu korporasi.
Presiden Jokowi menerbitkannya sebagai obat mujarab untuk menangkal pengelabuan dan rekayasa hukum korporasi, yang jamak dilakukan dalam praktik di tanah air.
Dalam Perpres tersebut, Pasal 1 angka 2 mengartikan, “Pemilik Manfaat adalah orang perseorangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada Korporasi, memiliki kemampuan untuk mengendalikan Korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari Korporasi baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham Korporasi dan/atau memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden ini”.
Mengidentifikasi pemilik manfaat bukanlah perkara yang sulit. Terima kasih kepada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kemenkumham, yang sejak kami menerima amanah selaku Wakil Menteri Hukum dan HAM (2011-2014), telah memiliki sistem online yang memungkinkan mengakses hampir semua data terbaru, termasuk pemegang saham dan pengurus suatu perseroan terbatas.
Maka, dari penelusuran data perseroan yang bersifat terbuka untuk umum di Kemenkumham itu dapat dengan mudah disimpulkan, meskipun sekilas memang dua perseroan yang berbeda, tetapi PT Jhonlin Baratama dan PT Jhonlin Agro Raya bukan semata adalah satu grup alias ‘sister company’, tetapi lebih jauh dikuasai oleh Pemilik Manfaat yang sama, yaitu Haji Isam.
Berdasarkan data terakhir tanggal 19 April 2021 dengan Akta Nomor 13 oleh Notaris Muhammad Hanafi, PT Jhonlin Baratama komposisi pemegang sahamnya adalah: PT Jhonlin Group 51 persen (dimana Haji Isam memiliki 96,99 persen saham PT Jhonlin Group); Hj. Nurhayati 44,98 persen saham; dan Haji Isam 4,02 persen saham, dengan Komisaris Jhony Saputra.
Di sini tergambar, bahwa meskipun Haji Isam hanya memiliki saham secara langsung sebesar 4,02 persen, tetapi Haji Isam dapat mengontrol PT Jhonlin Baratama melalui kepemilikan saham mayoritasnya di PT Jhonlin Group sebesar 96,99 persen.
Sedangkan dari data terakhir tanggal 21 Agustus 2020 dengan Akta Nomor 32 oleh Notaris Muhammad Hanafi, PT Jhonlin Agro Raya komposisi pemegang sahamnya adalah: PT Eshan Agro Sentosa 98,81 persen; PT Jhonlin Agro Mandiri 0,604 persen saham; dan Haji Isam 0,58 persen saham, dengan kepengurusan Komisaris Utama Liana Saputri.
Memang terdapat perseroan PT Eshan Agro Sentosa yang seolah berbeda, tetapi sebenarnya juga dikontrol oleh Haji Isam melalui kepemilikan saham mayoritasnya sebanyak 99 persen di PT Eshan Rimba Agro.
Ditambah, kepemilikan saham minoritas oleh PT Jhonlin Agro Mandiri juga dapat dikontrol oleh Haji Isam melalui dua lapis (layer) perantara, yakni PT Eshan Wana Lestari dan PT Eshan Rimba Argo.
Di sini kembali tergambar, meskipun Haji Isam hanya memiliki saham secara langsung sebesar 0,58 persen, tetapi Haji Isam dapat mengontrol PT Jhonlin Agro Raya melalui kepemilikan saham mayoritasnya, yang lebih dari 96 persen di dua perusahaan antara tersebut.
Kesimpulannya, baik PT Jhonlin Baratama yang sedang terbelit dugaan kasus korupsi di KPK ataupun PT Jhonlin Agro Raya yang proyek biodieselnya diresmikan Presiden Jokowi (meskipun sekilas adalah dua perusahaan yang berbeda), dari sisi pemegang sahamnya keduanya dikuasai mayoritas mutlak oleh Haji Isam.
Karena itu, berdasarkan pendekatan beneficiary ownership dapat disimpukan bahwa sebagai pemegang saham pengendali, tentunya Haji Isam dapat menentukan kepengurusan (komisaris dan direksi), serta “memiliki kemampuan untuk mengendalikan Korporasi” sebagaimana makna Pemilik Manfaat dalam Perpres 13/2018.
Masih banyak isu hukum lain yang menarik untuk dibahas, misalnya bagaimana tindak lanjut penanganan dugaan korupsi di KPK?
Bagaimana pula pertanggungjawaban korporasi, bahkan grup usaha dalam dugaan tindak pidana korupsi suap pajak tersebut?
Tapi, supaya fokus, tidak saya uraikan pada kesempatan rilis kali ini.
Demikian sedikit tanggapan dan analisis hukum yang dapat kami berikan, semoga bermanfaat, dan mohon maaf jika ada yang kurang berkenan.
*) Penulis adalah mantan Wamenkumham 2011-2014 dan Stafsus Presiden SBY bidang hukum, HAM dan Pemberantasan KKN