OLEH: ARIEF GUNAWAN
SEJAK zaman raja-raja sampai zaman “Petruk Jadi Raja” seperti sekarang, negeri ini juga diwarnai oleh pemimpin boneka (marionet leider).
Metode kolonialis secara garis besar memakai dua cara: memecah-belah dan menciptakan pemimpin boneka.
Itulah sebabnya VOC dulu datang terutama bukan dengan invasi senjata, melainkan dengan melakukan konsesi dan perjanjian-perjanjian dengan raja atau pangeran yang bersedia dijadikan boneka.
Belanda tidak mendominasi Nusantara sampai abad ke-19. Namun finansial VOC jauh lebih kuat. Lemahnya sektor ekonomi dan finansial kerajaan-kerajaan tradisional waktu itu membawa kemajuan bagi praktek kolonialisme.
Negara kolonial Hindia Belanda sendiri baru muncul pada awal abad ke-19, setelah jatuhnya VOC, antara lain karena korupsi.
Mindset kolonialis dengan metode memecah-belah dan menciptakan pemimpin boneka sampai hari ini masih dijalankan oleh oligarki, yang terdiri dari para taipan, partai politik pro status quo, dan kelompok Pengpeng (pejabat merangkap pengusaha).
Pemimpin-pemimpin boneka itu sekarang dinaikkan dengan cara “sophisticated”, melalui lembaga-lembaga survei dan media massa untuk membangun persepsi sesat, serta teknik-teknik pencitraan demi tujuan personal glory, yang menghasilkan pangeran-pangeran pencitraan seperti Ganjar Pranowo.
Ganjar muncul akibat dilema yang terjadi di kandang banteng, karena tiada lagi figur yang bisa laku dijual, dan adanya kepentingan kuat oligarki yang masih ingin terus berkuasa.
Itulah sebabnya Direktur Political and Public Policy Studies Dr Jerry Massie meminta masyarakat tidak terkecoh dalam memilih figur-figur di dalam survei calon presiden.
Ia kemudian menunjuk contoh ideal calon presiden, yaitu tokoh nasional Dr. Rizal Ramli, sebagai figur yang tidak menitikberatkan pada pencitraan, melainkan lebih mengedepankan ciri problem solver, transformatif, track record, prestasi, dan menjaga integritas diri.
Pemimpin yang mampu membawa Indonesia ke arah perubahan yang lebih baik, menurutnya, bukan sosok yang gila pencitraan, yang selalu dimunculkan dalam survei-survei calon presiden oleh beberapa lembaga survei yang ditengarai bagian dari alat oligarki.
“Faktanya Rizal Ramli sangat layak untuk dijagokan sebagai calon presiden RI pada Pilpres 2024,” tegas Jerry Massie. Bahkan, lanjutnya, Rizal Ramli pantas diadu kemampuannya dengan nama-nama yang disebut oleh lembaga-lembaga survei sebagai calon presiden.
Rizal Ramli sendiri dalam sebuah diskusi virtual bertema “APBN di Antara Himpitan Pajak dan Utang Negara”, belum lama ini, mengintrodusir sebuah istilah yang menggambarkan kemerosotan demokrasi di negeri ini selama 7 tahun terakhir.
“Yang ada sekarang bukan demokrasi, tapi United Oligarchy,” tegasnya.
Menurutnya, di Indonesia sekarang hanya ada satu pihak yang menjadi bos partai-partai besar.
“Jadi kepalanya cuma satu. Dia (United Oligarchy) bisa perintahkan apa saja kepada bos-bos partai untuk mendukung kepentingan United Oligarchy,” papar Rizal Ramli.
Ia mencontohkan, para pemegang kebijakan di negeri ini sekarang banyak memaksakan kehendak untuk membahas hal-hal yang bukan prioritas. Mulai dari persoalan politik sampai ekonomi, dan banyak lagi.
Memaksakan kehendak demi kepentingan United Oligarchy.
Contohnya, kondisi utang negara yang terus membengkak hingga biaya yang terlalu tinggi dalam proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung yang merupakan kerjasama dengan China, sehingga akhirnya memakai duit APBN.
Berikutnya ialah pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur yang minim manfaat, tapi akan menghabiskan biaya yang sangat mahal.
Rizal Ramli menekankan, prasyarat negara demokrasi adalah trias politica, saling cek antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
“Tapi Jokowi berhasil membangun United Oligarchy, menyatukan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Merusak demokrasi, prinsip keadilan dan konstitusi,” ujar Rizal Ramli.
(Penulis adalah pemerhati sejarah)