Catatan Kritis 7 Tahun Kepemimpinan Jokowi

Catatan Kritis 7 Tahun Kepemimpinan Jokowi

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

 

Oleh: Andi Yusran*

TERHITUNG semenjak dilantik untuk kali pertama tahun 2014 yang lalu, masa kepemimpinan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia telah berjalan selama 7 tahun, dalam masa jabatan tersebut, tercatat terjadi masalah pada perjalanan proses demokrasi di Indonesia.


Laporan The Economist Intelligence Unit (EUI) menunjukkan, skor indeks demokrasi di Indonesia cenderung menurun. Skor indeks demokrasi Indonesia mencapai 6,3 pada 2020, terendah dalam satu dekade terakhir.Padahal, sebelumnya sempat mencapai puncaknya sebesar 7,03 pada tahun 2015.


Di Asia Tenggara, tahun 2020 yang lalu, Indonesia menempati peringkat empat di bawah Malaysia (7,19), Timor Leste(7,06), dan Filipina (6,56).


Selanjutnya, The Economist Intelligence Unit (EIU) dan Indeks Demokrasi Indonesia menggarisbawahi menurunnya kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai pangkal utama menurunnya kualitas demokrasi Indonesia.


Laporan EIU menempatkan Indonesia pada urutan 64 dari 167 negara, sedangkan laporan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) memperlihatkan turunnya skor indeks kebabasan berpendapat yang semula 66,17 di tahun 2018 menjadi 64,29 di tahun 2019.


Rilis Democracy Report (2021) menempatkan Indonesia pada urutan 73 dari 179 negara dalam hal kebebasan dalam demokrasi.


Variable lain yang turut berpengaruh atas menurunnya Indeks Demokrasi Indonesia adalah partisipasi politik publik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan, tercatat variabel ini terbilang terendah yakni 54,00 poin (2020).


Bagaimana fakta faktualnya?


Setidaknya terdapat beberapa indikasi utama penyebab kemerosotan indeks demokrasi khususnya dalam kebebesan berpendapat dan dan kebebesan berorganisasi, yakni: Pertama, pembubaran dua organisasi keagamaan yakni Hizbut Tahrir Indonesia dan Fron Pembela Islam (FPI).


Kedua, Ormas keagamaan tersebut dilarang beraktivitas dan yang tragis, dialami oleh FPI yang harus kehilangan 6 orang anggotanya (terbunuh) dalam proses pengawalan Habib Rieziq.


Pelarangan beraktivitas kedua Ormas keagamaan tersebut diambil oleh pemerintah dengan tanpa proses hukum terlebih dahulu. Sejatinya pelarangan tersebut sebagai bentuk penegakan hukum dari aparat negara segera setelah kasusnya memiliki kekuatan hukum tetap.


Pelarangan tersebut secara jelas bertentangan dengan kebebasan berkumpul dan berorganisasi yang dijamin konstitusi UUD 1945.


Gangguan Kebebesan berekspresi juga dialami oleh acara reality show ILC Garapan Karni Ilyas, berhentinya tayangan acara tersebut diduga kuat terkait dengan campur tangan kekuasaan, sebagaimana dituturkan oleh host nya sendiri bahwa ia mengalami banyak tekanan.


Menilik konten acaranya yang kritis diduga kuat sebagai penyebab munculnya resistensi dari elit berkuasa.


Kebebasan berkespresi juga terdistorsi dalam beberapa kasus sebagaimana dialami oleh aktivis KAMI, aktivis mahasiswa dan kelompok pro demokrasi.


Aktivitas mereka kerap menyoal berbagai isu kebangsaan dan kenegaraan, penanganan yang ekstra keras dari aparat keamanan dalam aktivitas demonstrasi mahasiswa membawa catatan kelam kehidupan demokrasi Indonesia.


Indikasi adanya kriminalisasi kepada kelompok aktivis dan kritis tersebut menjadi sulit dipungkiri yang ‘terlihat’ dari adanya upaya mencari ‘celah’ kesalahan kepada sang aktivis.


Rendahnya kualitas demokrasi di Indonesia, sebagaimana indikator dari Indeks Demokrasi Indonesia (IDI 2020), bukan hanya disumbangkan oleh distrorsi kebebasan berekspresi, tetapi juga kontribusi dari variable partisipasi politik publik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan. Tercatat variabel ini terbilang terendah yakni 54,00 poin.


Apa fakta faktual di balik rendahnya variable ini?


Satu kasus penting yang bisa mewakili bagaimana perilaku rezim, bagaimana kekuasaan mempersempit kran partisipasi publik dalam perumusan kebijakan.


Tindakan rezim itu ditunjukkan dalam kasus perumusan dan pengesahan Undang-undang Cipta Kerja (omnibus law). Walaupun pemerintah mengklaim telah melakukan dialog dengan berbagai pihak dalam perumusan kebijakan tersebut, namun dilain sisi faktanya sungguh berbeda.


Terjadinya gelombang demonstrasi mahasiswa dan penolakan dari berbagai kalangan termasuk kalangan kampus terhadap undang-undang tersebut tidak membuat pemerintah berubah pikiran dan tetap mengesahkan rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang.


Tingginya intensitas penolakan terkait dengan undang-undang tersebut menunjukkan lemah dan terbatasnya partisipasi publik  Ketika draft awal UU tersebut dirumuskan.  


Apa dan mengapa pemerintah terindikasi ‘gemar’ mendistorsi partisipasi publik dalam perumusan kebijakan?


Teori power cube dari Gaventa (2010) setidaknya bisa jadi pisau analisis untuk menjelaskan adanya ruang (space) tertutup dalam proses perumusan dan pengambilan kebijakan.


Dalam ruang gelap tersebut aktor non-state (oligark) berperan penting menentukan arah kebijakan sesuai dengan selera dan kepentingan para oligark ekonomi yang membangun relasi dengan para oligark politik yang memegang kendali negara.


Pada posisi tersebut rezim berkuasa menjadii resisten dengan partisipasi publik.

 

Sederet kasus dan fakta faktual diatas menyeret alam sadar kita untuk bertanya, kemana demokrasi kita diarahkan?rmol.id


*(Penulis adalah Direktur Riset Pusat Studi Birokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan Unas Jakarta)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita