GELORA.CO - Beredar surat terbuka Muhammad Kosman alias Muhammad Kece minta mencabut laporannya terhadap Inspektur Jenderal Polisi Napoleon Bonaparte, tekait kasus penganiayaan yang dialaminya.
Dalam surat itu, M Kece mengaku telah sepakat berdamai dengan Irjen Pol Napoleon. M Kece juga menyatakan membuat surat tersebut dalam keadaan sadar dan tanpa adanya tekanan.
"Kami telah sepakat menyelesaikan permasalahan ini secara damai dan kekeluargaan. Saya anggap perkara sudah tuntas dan saya berjanji tidak melanjutkan perkara ini ke sidang pengadilan," demikian bunyi surat itu seperti dikutip Minggu, 10 Oktober 2021.
Terkait hal ini, Polri menduga penulisan surat itu mengandung paksaan. Apabila memang mengandung paksaan maka Korps Bhayangkara menegaskan bahwa surat itu tidak berguna dan akan diabaikan.
"Kalau dipaksa ya enggak ada gunanya. Kami abaikan kalau dipaksa," ujar Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Polisi Agus Andrianto.
Lima orang ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiayaan terhadap Kece yakni Napoleon Bonaparte yang merupakan narapidana kasus suap, DH selaku tahanan kasus uang palsu; DW (napi kasus ITE); H alias C alias RT (napi kasus penipuan penggelapan); dan HP (napi kasus perlindungan konsumen).
Irjen Napoleon telah menyiapkan kotoran manusia sendiri untuk dilumuri ke Muhammad Kosman alias Muhammad Kece, tahanan tersangka kasus penodaan agama di Rumah Tahanan Bareskrim.
Napoleon menyampaikan surat terbuka usai beredarnya informasi mengenai penganiayaan yang dia lakukan terhadap M Kece di rumah tahanan.
Dalam surat yang kabarnya disebarluaskan oleh kuasa hukumnya, Haposan Batubara, Napoleon mengakui bahwa tindak penganiayaan yang dilakukannya terhadap YouTuber tersebut adalah benar.
Dia menjelaskan, sebagai orang yang dilahirkan oleh orangtua yang beragama Islam, dibesarkan di lingkungan Islam dan taat terhadap ajaran agama tersebut, dia mengaku tidak bisa mentolerir penghinaan.
Di sisi lain, dia mengatakan perbuatan yang dilakukan Kece alias Muhammad Kosman ini juga pada dasarnya telah membahayakan persatuan, kesatuan dan kerukunan umat beragama di Indonesia.[viva]