Oleh: Adian Radiatus*
PRESIDENTIAL Threshold atau Ambang Batas Pencalonan Presiden (melalui dukungan partai) untuk seseorang kandidat presiden di Indonesia mesti didukung partai atau gabungan partai dengan sekurangnya 20 persentasi suara rakyat ada di tangan mereka.
Alhasil partai-partai yang sudah membesar memiliki potensial market untuk mengusung Capres-Cawapres yang dikehendaki mereka. Karena itu keterbelahan keadilan demokrasi sudah dimulai dari titik ini.
Penguasaan demokrasi dan politik oleh sekelompok elite partai dan konglomerat menjadi candu yang membahayakan bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara secara terhormat dan bermartabat.
Pemakaian petugas partai sebagai presiden hanyalah memperjelas, tak lebih dari seorang dirut yang ditunjuk komisaris di perusahaan.
Sehingga tentu saja kekuatan integritas kepemimpinannya menjadi tak efektif dan semakin jauh memperlakukan negara seakan sebuah konsorsium kepentingan kekuasaan belaka.
Contoh kekacauan sistem politik seperti itu dapat kita lihat pada terpilihnya Joko Widodo yang seorang pengusaha meubel dan kebetulan punya ambisi politik di partainya sebagai presiden ketujuh.
Semua historis dan catatan tentang kepemimpinan Jokowi sejak awal kepresidenannya sungguh sangat memprihatinkan.
Tidak hanya keterbelahan politik elite tapi juga bagaimana ruang publik telah berubah menjadi kancah perusakan kehidupan harmoni sesama anak bangsa.
Pemakaian pola hasutan dan distorsi pada kelompok-kelompok Islam sangat menonjol. Sementara di belakang itu kebijakan dan transaksional ekonomi dalam kepentingan bisnis berskala platinum oligarki berlangsung seakan hal yang tak perlu diketahui rakyat.
Hanya angka-angka bertambahnya utang negara yang terang benderang bagi rakyat.
Sementara bertambahnya kekayaan tersembunyi para stakeholder kekuasaan tak mungkin muncul ke permukaan karena memang sembunyi, dan kalaupun ketahuan hanya akan berhadapan dengan bantahan semata.
Namun publik masih beruntung adanya para investigator ekonomi dan bisnis di dunia 'persembunyiannya'.
Maka ketika kasus eksploitasi sumber daya alam di Papua bergema dan kemudian Pandora Papers mencuat, mata hati rakyat semakin menemukan jawabannya.
Sebanyak 80 persen hak kesejahteraan rakyat seakan 'dirampok' hanya karena sistem politik Presidential Treshold yang timpang.
Jokowi yang dua kali terpilih lebih cenderung sebagai presiden yang ditunjuk bertindak seakan hanya mengurus infrastruktur negara saja.
Sementara pengawasan dunia usaha yang berpontensi merugikan negara sering kalah dalam antisipasinya. Fakta kerugian yang dialami BUMN adalah salah satu bukti ketika dukungan APBN diberikan tapi perhitungan dan pengawasannya tak berjalan sebagaimana mestinya.
Akibatnya kondisi NKRI yang mulai lunglai saat ini sangat membutuhkan pemimpin yang kuat.
Pemimpin yang menguasai kemampuan analitis dan eksekusi penyelamatan keadaan rakyat pada strata kesenjangan politik, ekonomi, hukum, dan ideologi Pancasila.
Jalan terbaik untuk menemukan sosok itu adalah Penghapusan aturan Presidential Treshold, sehingga kekuatan demokrasi Pancasila dapat kembali memimpin negeri ini dengan berwibawa.
Bendera Merah Putih yang tidak dapat berkibar ketika anak bangsa memenangkan pertarungannya di medan lapangan bernama olahraga itu adalah suatu pertanda dari sekian pertanda hilangnya 'olah jiwa' kebangsaan selama kepemimpinan presidensial Jokowi atas segenap unsur pemerintahannya.
Sekali lagi ini bukan kesalahan Jokowi semata-mata, tetapi jelas telah menjadi penyebab utama sehingga dengan 20% PT itu membuat rakyat terperdaya. Tak heran bila 80% kemakmuran rakyat serasa dirampok oleh sistem yang tidak sehat itu.
Saatnya wujud demokrasi Pancasila seutuhnya ditegakan dan bukan demokrasi oligarki.
*Pengamat sosial dan politik