GELORA.CO - Konflik persoalan lahan di Indonesia masih terus terjadi. Maka itu, perlu sejumlah langkah agar konflik mengenai lahan ini bisa diselesaikan.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menjelaskan, yang paling banyak terdampak persoalan tanah adalah petani dan kaum baruh.
"Saya sangat memahami, karena terus mengikuti persoalan soal tanah. Bahwa yang paling banyak terdampak persoalan tanah adalah para petani dan kaum buruh. Ada yang semula petani, lalu sawahnya digusur, kemudian menjadi buruh, dan kesulitan memperoleh perumahan, bahkan yang paling sederhana sekalipun," katanya dalam pidato Peringatan Hari Tani Nasional, Jumat (23/9/2021).
Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada 2019 terjadi 279 konflik agraria yang melibatkan tanah seluas 734.239 hektar dan berdampak pada 109.042 kepala keluarga. Kemudian pada 2020 KPA mengungkapkan ada total 241 kasus konflik agraria. Hal itu di 359 daerah di Indonesia dengan korban terdampaknya 135.332 Kepala Keluarga (KK). Tertinggi terjadi pada sektor perkebunan sebanyak 122 kasus.
Selama 5 tahun terakhir telah terjadi 2.047 konflik agraria di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pertanian, infrastruktur dan properti.
Dirinya pun ingin agar persoalan tanah, konflik-konflik agraria secara nasional harus turun. Maka itu, Rizal Ramli meminta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melakukan sejumlah hal. Pertama, memaklumatkan moratorium nasional penggusuran rakyat dari tanah yang dikelolanya, baik di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pertanian, infrastruktur maupun properti.
Kedua, mengevaluasi, memeriksa dan mengaudit terhadap semua izin peruntukan penggunaan tanah baik itu SIPPT, HGU, HGB, dan lain-lain yang telah diberikan, baik masa berlakunya maupun cara mendapatkan izin-izin tersebut.
Ketiga, mewajibkan semua pemilik SIPPT, HGU, HGB, dan lain -lain untuk mengumumkan jenis dan nomor surat izin, luas wilayah yang diberikan izin, peta (denah) lokasi lahan yang diizinkan dikelola, dan memasangnya di atas plang (billboard) atau yang sejenisnya di tempat strategis agar diketahui masyarakat, khususnya penduduk/pengelola lahan yang menjadi obyek surat izin tersebut.
"Dengan cara ini persoalan pertanahan menjadi lebih transparan, dan apabila masyarakat setuju dengan izin-izin tersebut bisa mempersiapkan diri secara lebih seksama, sehingga tidak menjadi korban mafia tanah atau persekongkolan jahat antara pemilik modal dan para preman atau penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk membela para pemilik modal," katanya.(detik)