GELORA.CO - Pedagang bakso keliling di Salaman, Kabupaten Magelang menjadi relawan pemakaman Covid-19 Desa Menoreh. Rela meninggalkan berdagang jika tugas memanggil.
Musyafak (55 tahun) sejak tahun 2014 memutuskan pulang kampung, setelah bertahun-tahun merantau di Malang, Jawa Timur.
“Orang tua saya di sini sudah tua. Saya disuruh pulang kampung untuk menunggui sampai meninggal,” kata Musyafak kepada SuaraJawaTengah.id.
Pertama kembali ke Magelang, Musyafak bingung harus memulai usaha apa. Ternyata tidak mudah mencari pekerjaan di kampung halamannya sendiri selain menjadi buruh bangunan dan petani.
Berbekal pengalamannya berjualan bakso di Malang, Musyafak memutuskan melanjutkan usaha yang sama di Magelang. Selain menjajakan bakso keliling kampung, dia juga sering mangkal di Pasar Salaman.
“Istri saya kan orang Malang. Jadi saya di sana sudah belajar jualan bakso Malang. Akhirnya itu yang saya geluti. Saya coba, akhirnya berjalan sampai sekarang,” ujar Musyafak.
Naluri Musyafak untuk membantu orang kesulitan, muncul saat pandemi Covid-19 melanda kampungnya. Dia melihat sendiri bagaimana warga kampung kesulitan memakamkan orang yang meninggal terkonfirmasi Covid.
Terlebih saat jumlah kasus penularan Covid sempat naik drastis pada Juni-Juli 2021. “Satu hari itu bisa memakamkan prokes sampai 3 kali. Itu kejadian di Desa Singonalan. Malamnya di Tanjung Anom dan paginya langsung di Kauman, Desa Menoreh,” ujar Musyafak.
Relawan pemakaman prokes Desa Menoreh sempat kewalahan mendapatkan alat pelindung diri. Persediaan APD yang disediakan Desa Menoreh jumlahnya terbatas.
Terpaksa Musyafak dan relawan lainnya harus patungan menggunakan uang pribadi untuk membeli alat pelindung diri.
“Kalau nggak salah patungan beli APD itu dua atau tiga kali. Di Menoreh waktu itu saat ada berita pemakanan ternyata kita cari APD nggak ada.”
Musyafak berpendapat, virus Covid yang mereka hadapi sangat berbahaya dan tidak kelihatan. “Daripada nyeplekan, lebih baik kita keluar uang sendiri saja lah. Yang penting semua bisa selamat,” ujarnya.
Jas Hujan
Sering karena ketiadaan APD untuk proses pemakaman prokes, para relawan terpaksa menggunakan jas hujan berbahan plastik.
Totalitas Musyafak dalam menjalankan tugas sebagai relawan pemakaman Covid, dibuktikan saat ada panggilan relawan padahal sedang berjualan. Biasanya dia langsung pulang dan baru melanjutkan berjualan jika tugas pemakaman sudah selesai.
“Apabila ada panggilan warga yang meninggal Covid, saya siap kapanpun. Bahkan kalau saya lagi pas jualan ada kabar untuk merapat pemakaman, saya langsung ke lokasi,” katanya.
Beruntung istri dan anak Musyafak memahami hal tersebut. Dia bahkan mengajak istrinya Sutiyam (52 tahun) dan anaknya Satria (20 tahun) untuk ikut terlibat menjadi relawan pemakaman Covid.
Sutiyam biasanya membantu tugas-tugas ringan seperti menyemprotkan disinfektan. Sedangkan Satria ikut memanggul peti jenazah hingga menurunkannya ke liang lahat.
“Keluarga saya didik untuk memiliki jiwa sosial kepada orang lain. Apapun bentuknya, kita itu jangan merawa owel (pelit) membantu orang banyak,” ujar Musyafak.
Sekretaris Lembaga Penanggulangan Bencana Desa (LPBD) Menoreh, Markus Njoto Nugoro mengakui sempat kesulitan mendapatkan APD untuk relawan pemakaman Covid.
Jumlah APD yang disediakan pemerintah desa dan puskesman sangat terbatas, sehingga tidak cukup untuk melayani seluruh pemakaman prokes.
Selain itu, belum seluruhnya relawan mendapat pelatihan pemakaman khusus Covid. “Sebenarnya kami tanpa pelatihan dan pokoknya harus prokes, pakai APD. Belakangan baru ada komunikasi dengan Puskesmas Salaman,” kata Markus Njoto Nugoro.
Menurut Markus, saat ini relawan pemakaman Covid justru kebanyakan berasal dari masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Mereka bekerja di sektor non formal seperti pedagang atau buruh harian.
“Tapi dari orang-orang seperti ini justru kita mendapatkan ketulusan dan kerelaaan mereka untuk menjadi relawan,” ujar Markus.[suara]