OLEH: TRIAS KUNCAHYONO
TIDAK setiap tempat di Bumi ini memiliki iklim yang sama. Tidak seperti di Indonesia, ada beberapa negara yang mempunyai empat musim berbeda di sepanjang tahunnya.
Indonesia yang memiliki dua musim pun, sudah “tak menentu”. Mestinya sudah musim kemarau, eh ternyata masih hujan. Deras lagi. Demikian sebaliknya: semestinya sudah musim penghujan, tapi Matahari masih berfoya-foya melepaskan panasnya.
Negara-negara yang terletak jauh dari garis khatulistiwa mempunyai empat musim: musim panas, musim gugur, musim dingin, dan musim semi. Sedangkan negara-negara yang berada dekat dengan garis khatulistiwa memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau.
Masyarakat zaman dulu mengamati setiap tanda-tanda kejadian alam yang berlangsung untuk menentukan mangsa, musim. Maka kemudian disusun Pranata Mangsa, Ketentuan Musim.
Petani dapat memahami mangsa berdasarkan kejadian atau situasi alam yang dialami, yang terkait dengan usaha taninya. Para petani dan juga nelayan sebelum adanya teknologi canggih untuk membaca keadaan cuaca, memiliki kearifan lokal, membaca cuaca. Misalnya, dengan membaca bintang.
II
Walaupun sedikit bergeser, tetapi musim tetap pasti. Kapan hujan turun, kapan salju turun, kapan daun-daun rontok berguguran, kapan Matahari memuaskan dirinya menyinari Bumi dan sebagainya. Kapan bunga sakura bermekaran. Kapan, pohon rambutan berbuah. Semua lumayan pasti.
Tidak demikian halnya dengan korupsi. Korupsi sama sekali tidak mengenal musim. Ia tidak mengenal musim tertentu, Bahkan di “musim” pandemi seperti sekarang ini, korupsi jalan terus, seperti iklan minuman saja; kapan saja, di mana saja, siapa saja.
Ke mana uang besar, dalam jumlah banyak mengalir, korupsi biasanya mengikuti. Jadi tidak mengherankan jika pandemi Covid-19 pun menarik penjahat. Tak peduli, pandemi itu telah merenggut begitu banyak nyawa, membuat jutaan orang menderita, menghancurkan mata pencaharian jutaan orang, menghambat kemajuan, para koruptor tetap “beroperasi.”
Mereka tidak akan menarik garis pemisah dan mengatakan, “Tidak, ini tidak akan kami curi”.
Bagi para koruptor, tidak ada sesuatu yang begitu sakral yang tidak akan disentuh. Beragam teori tentang korupsi dan contoh perilaku non-koruptif pernah “dihujankan” oleh para pemikir dan tokoh dunia seperti Nizam al-Mulk atau Kautilya.
Berhasilkah semuanya itu? Ya dan tidak: ada yang berhasil ada yang gagal.
Ada yang ditegakkan dengan sanksi hukuman mati, jika kejahatannya kelewat batas. Sebut saja China, misalnya. Meskipun kebijakan hukuman mati di China menganut prinsip “membunuh lebih sedikit dan membunuh dengan hati-hati.” Namun toh, hukuman mati terhadap para koruptor tetap ada.
Pada Januari 2020, badan antikorupsi tertinggi Partai, Komisi Pusat untuk Pengawasan Disiplin (CCDI), mengumumkan bahwa pejabat korup yang secara sukarela mengaku kepada pihak berwenang akan diberikan keringanan hukuman, sementara mereka yang berulang kali menerima suap akan ditindak tegas.
Menurut CCDI, orang yang secara sukarela mengaku meningkat dua kali lipat dari lebih dari 5.000 menjadi lebih dari 10.000 antara Oktober 2017 dan 2019, dan kemudian jumlahnya naik lagi 54 persen pada tahun 2020 (Yaxiang Liu dan Grace Faerber, 2021).
November lalu (2020), Pengadilan Tinggi Madras, India malah menyarankan penerapan hukuman mati bagi para koruptor, seperti di China dan Korea Utara (The Print, 20/11/2020).
Eksekusi paling kontroversial di Korea Utara sejauh ini adalah eksekusi Paman Kim Jong-un, orang nomor satu di negeri itu yakni Chang Song-thaek pada 2013. Chang memegang jabatan senior di partai yang berkuasa dan merupakan wakil ketua Komisi Pertahanan Nasional. Ia dituduh korupsi dan akan melancarkan kudeta.
Memang, hukuman mati menjadi persoalan kemanusiaan, sehingga muncul desakan internasional agar hukuman mati tidak lagi diberlakukan; agar dihapus. Pelaksanaan hukuman mati adalah menolak martabat manusia. Tetapi, ada yang sanksi hukumannya bagi para koruptor, cukup ringan, sehingga ya, ada sementara orang yang seperti berlomba banyak-banyakan korupsi.
Alhasil, di negeri ini, segala teori tentang korupsi tampak mandul dan mampet. Atau dibuat mandul dan mampet. Tak berdaya. Buktinya, orang atau pejabat yang ditangkap atau terkena operasi tangkap tangan (OTT), tak habis-habisnya. Tak ada rasa ketakutan akan kena OTT, diadili lalu dipenjara dan menyandang status sebagai koruptor. Semua itu dianggap biasa saja.
Jangan pernah bertanya, apakah mereka merasa berdosa? Ah, dosa itu hubungannya dengan Tuhan. “Yang saya ambil, bukan duit Tuhan,” kira-kira begitu kilahnya.
III
Tetapi, bukankah korupsi itu tindakan tak bermoral? Ah, apa itu moral. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan pengertian moral, yang dari segi substantif materiilnya tidak ada perbedaan, akan tetapi bentuk formalnya berbeda.
Memang, harus diakui, banyak yang menjalankan kekuasaan dengan amanah, berintegritas dan jujur. Namun yang melanggar sumpah jabatan, koruptif, culas, tak kalah banyak lagi. Ini namanya tak bermoral.
Apa yang ditulis Chairil Anwar: …. Dan aku akan lebih tidak perduli, Aku mau hidup seribu tahun lagi, dalam kumpulan puisinya AKU. seperti diteriakkan oleh para koruptor. Karena “ingin hidup seribu tahun”, maka berlomba-lombalah mengumpulkan harta, dengan segala macam cara, termasuk korupsi.
Seakan korupsi menjadi sebuah keharusan, conditio sine qua non, syarat mutlak, sesuatu yang tidak boleh tidak harus dilakukan, kalau jadi pejabat, kalau ada peluang atau kesempatan untuk korupsi.
Korupsi pun menjadi sebuah mode. Maka kredonya, kalau tidak ikut korupsi ketinggalan zaman. Suhartono W Pranoto (2008) menulis banyak penjahat dewasa ini yang berkaliber berat, berdasi, berjas, dan berpantalon yang mahal sesuai dengan tuntutan mode, tampaknya patuh pada undang-undang, beramal, dan kalau perlu menjadi anggota panitia sosial yang terkenal; meluncur dalam Mercedes atau Volvo melakukan praktik-praktik kejahatan tersembunyi di balik tutur kata dan sopan santun yang gearticulateerd.
Mereka tidak berasal dari lapisan masyarakat yang miskin, yang kasar; mereka tidak berotot kekar seperti bajingan umum menurut gambaran Cesare Lombrosso (1835-1909) kriminolog Italia, tentang seorang penjahat. Menurut Lambrosso,bahwa seseorang yang “terlahir sebagai penjahat” dapat diidentifikasi dari penampilannya.
Padahal, yang terjadi di negeri ini, sekurang-kurangnya, wajah mereka kerapkali tampan, istri-istri mereka kerapkali cantik, tetapi mereka adalah “perampok-perampok salon”, sama jahatnya dengan seseorang perampok dan pembunuh, tetapi dengan mempergunakan cara dan metode yang lain.
Benar yang dikatakan oleh Pakde–begitu saya biasa memanggilnya, juga banyak orang. Pakde mengatakan, “Satu hal yang banyak mewarnai watak ke-Indonesiaan yang kurang terpuji: ‘Sulit ditebak, sulit dipercaya'”. Itulah koruptor. Sepertinya santun, saleh, dermawan, bersahabat, ramah, pekerja keras, bicara yang baik-baik, anti-korupsi, eh, ternyata kena OTT.
Coba, dipercaya jadi menteri, eh korupsi. Dipercaya jadi ketua partai, juga korupsi. Dipercaya rakyat menjadi bupati, juga korupsi. Dipercaya jadi gubernur, jatuh karena korupsi juga. Dan, dipercaya jadi wakil rakyat, ya sami mawon, korupsi.
Terus bagaimana?
Mungkin, memang, sekarang sedang “musim gugur.” Gugurnya orang-orang yang pernah “seperti” terhormat. Gugur seperti daun-daun kuning, yang lepas dari tangkainya, jatuh melayang tak berdaya ke Bumi, lalu diinjak-injak orang lewat atau dikumpulkan tukang sampah….dan akhirnya dibakar.