GELORA.CO - Oknum dokter yang sedang menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di sebuah Universitas ternama di Kota Semarang, melakukan kekerasan s*ksual terhadap seorang perempuan.
Kekerasan seksual yang dilakukan oknum tersebut berupa mencampurkan sperma ke dalam makanan milik korban.
Atas perbuatannya, kini korban mengalami depresi
Dikutip dari TribunJateng.com, Jumat (10/9/2021), korban tak lain adalah istri temannya sendiri yang juga sedang menempuh PPDS.
Kasus kekerasan seksual tersebut terjadi di rumah kontrakan yang dihuni oleh korban, suaminya serta pelaku.
Hal tersebut diungkapkan oleh pendamping korban dari LRC-KJHAM, Nia Lishayati.
"Kasus ini terjadi di rumah kontrakan yang dihuni oleh korban dan suaminya serta pelaku," papar pendamping korban dari LRC-KJHAM Nia Lishayati saat dihubungi Tribunjateng.com, Jumat (10/9/2021).
Nia mengatakan, korban dan pelaku bisa satu kontrakan bermula saat korban menemani suaminya yang tengah menempuh c
Pada 2019, korban dan suaminya sempat meminta pelaku untuk mencari rumah lain, namun oknum dokter tersebut menolak.
"Pelaku sebenarnya sudah beristri dan memiliki anak namun mereka tak dibawa ke Semarang," bebernya.
Ia menyebut, kejadian tersebut diduga dilakukan oleh pelaku sejak bulan Oktober 2020.
Korban curiga dengan tudung saji makanan milik korban yang selalu berubah posisi.
Tak hanya itu, makanan berubah bentuk berupa bekas diaduk serta warnanya berbeda.
Lantaran penasaran, korban berinisiatif untuk merekam kejadian di sekitar ruangan tersebut menggunakan Ipad yang disembunyikan.
Selepas di video, korban syok lantaran tampak jelas di dalam video, ketika korban sedang mandi, pelaku lalu mendekati ventilasi jendela kamar mandi korban.
Pelaku kemudian melakukan mansturbasi dan mencampurkan spermanya ke makanan korban.
"Padahal makanan itu dimakan korban dan suaminya. Dugaan aksi pelaku sudah lama. Bayangkan korban dan suaminya memakan makanan campuran sperma dalam waktu cukup lama," tuturnya.
Setelah mengetahui kebenaran tersebut, korban mengalami trauma berat, gangguan makan, gangguan tidur dan gangguan emosi.
Sejak bulan Desember 2020 sampai hari ini korban harus minum obat anti depresan yang diresepkan psikiatri.
Korban juga harus melakukan pemeriksaan dan mengkonsumsi obat anti depresan selama minimal beberapa bulan ke depan.
Nia menyebut, kasus tersebut sudah dilaporkan ke Polda Jawa Tengah.
Berkas kasus juga sudah di limpahkan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. [tribun]