GELORA.CO - Tim kuasa hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Erwin Natosman Oemar menegaskan, sudah berulang kali menjelaskan bahwa hasil penelitian ICW tidak menuding pihak manapun, terlebih terhadap Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko yang disebutkan mencari keuntungan melalui peredaran Ivermectin. Hal ini menyikapi langkah Moeldoko yang akan melaporkan ke aparat kepolisian.
“Telah pula kami sampaikan dalam tiga surat jawaban somasi kepada Moeldoko melalui kuasa hukumnya, Otto Hasibuan. Sebab, jika dicermati lebih lanjut, siaran pers yang berjudul ‘Polemik Ivermectin: Berburu Rente di Tengah Krisis’ selalu menggunakan kata indikasi dan dugaan,” kata Erwin dalam keterangannya, Rabu (1/9).
“Lagi pula Moeldoko salah melihat konteks penelitian tersebut, karena yang digambarkan ICW adalah indikasi konflik kepentingan antara pejabat publik dengan pihak swasta, bukan sebagai personal/individu,” imbuhnya.
Mengenai ekspor beras, lanjut Erwin, pihak Moeldoko terus menerus mendaur ulang isu tersebut. Padahal, dalam berbagai kesempatan sudah tegas menyampaikan bahwa pernyataan itu adalah mis informasi, karena yang benar adalah mengirimkan kader HKTI atau petani ke Thailand untuk mengikuti program pelatihan.
Selain itu, khusus untuk ekspor beras ini, ICW juga telah meminta maaf atas kekeliruan pernyataan tersebut. Baginya, persoalan mis informasi bukan hal utama, sebab poin krusial yang harus dijelaskan oleh Moeldoko adalah apa motivasinya bertemu atau berkomunikasi dengan Sofia Koswara lalu meminta pengurusan surat izin edar Ivermectin.
“Apa karena kedekatan Sofia Koswara dengan anaknya karena tergabung dalam perusahaan yang sama? Sebagaimana dalam penelitian ICW,” papar Erwin.
Dia menegaskan, pelaporan atau pengaduan ke pihak kepolisian adalah hak setiap warga negara secara personal/individu. Dia tak mempermasalahkan terkait langkah Moeldoko tersebut.
“Jadi, silahkan saja jika Moeldoko ingin meneruskan persoalan ini ke penegak hukum. Namun, kami menyayangkan langkah itu. Sebab, hasil penelitian ICW semata-mata ditujukan untuk memastikan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, terlebih di tengah pandemi Covid-19,” tegas Erwin.
Seharusnya Moeldoko dengan posisinya yang berada di lingkar dalam Istana Negara mestinya bijak dalam menanggapi kritik. Bukan justru langsung menempuh jalur hukum tanpa ada argumentasi ilmiah tentang indikasi konflik kepentingan dalam penelitian ICW.
Erwin menegaskan, indikasi persoalan Moeldoko sebenarnya tidak hanya terkait dugaan konflik kepentingan dalam peredaran Ivermectin. Namun, patut diingat bahwa Moeldoko juga sempat membagi-bagikan obat Ivermectin melalui organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang bekerjasama dengan PT Harsen Laboratories di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
“Maka, atas dasar tindakan itu, muncul satu pertanyaan penting yang harus dijawab Moeldoko juga ‘Bukankah membagi-bagikan produk farmasi yang belum jelas uji kliniknya apalagi secara bebas ke masyarakat merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 196 UU Kesehatan?’,” tegas Erwin.
“Berangkat atas pertanyaan di atas, kami turut meminta pertanggungjawaban Moeldoko,” ucap Erwin menandaskan.
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko tak segan mengambil langkah hukum jika ICW tidak meminta maaf atas laporannya terkait dugaan peredaran obat Ivermectin. Dia mengaku, sudah melayangkan surat sebanyak tiga kali agar ICW mau meminta maaf.
“Anda minta maaf, klarifikasi, cabut pertanyaan, selesai. Tapi kalau tidak dilaksanakan saya lapor polisi. Ini sikap saya, kita harus ksatria menjadi orang, akan dihormati orang lain,” tegas Moeldoko, Selasa (31/8).
Mantan Panglima TNI ini menyebut, ICW tidak pernah punya itikad baik. Dia menuding, cara yang dilakukan peneliti ICW Egi Primayoga merupakan pembunuhan karakter.
“Cara sembrono seperti ini kalau dibiarkan akan merusak. Ini adalah character assassination, pembunuh karakter seseorang yang kebenarannya belum jelas, apalagi dengan pendekatan-pendekatan cocoklogi, dicocok-cocokan, ini apa-apaan begini?,” pungkasnya.[jawapos]