Oleh: Aang Kunaifi
KEKUASAAN itu cenderung korup, begitu kata Lord Acton. Karena itu, kekuasaan yang besar, yang mutlak, pasti akan korup. Dalam bahasa yang lain, kekuasaan itu cenderung disalahgunakan. Maka, kekuasaan yang besar dan yang mutlak, pasti disalahgunakan.
Itulah kenapa, dalam negara negara demokrasi, kekuasaan itu dibatasi. Baik oleh kekuasaan yang lain, atau oleh waktu. Agar kekuasaan tersebut tidak disalahgunakan.
Apalagi kekuasaan eksekutif pada sebuah negara yang menganut sistem politik presidensial. Dalam sistem tersebut, kekuasaan eksekutif yang dalam hal ini adalah kekuasaan presiden, sangat besar. Ia merupakan kepala negara yang sekaligus merupakan kepala pemerintahan.
Ia semakin powerfull legitimasinya karena dipilih langsung oleh rakyat.
Maka dalam sistem presidensial, seorang presiden tidak mudah dijatuhkan. Impeachment memang ada diatur dalam konstitusi, tetapi tidak mudah dieksekusi. Bahkan, karena besarnya kekuasaannya, seorang presiden kemungkinan besar akan terpilih kembali dalam pemilu berikutnya.
Di Indonesia, pembatasan kekuasaan itu menjadi salah satu semangat dalam Reformasi 1998. Setelah sebelumnya, terutama di masa Orde Baru, Indonesia hidup dalam kekuasaan yang besar. Kekuasaan yang cenderung mutlak.
Pascareformasi, kekuasaan legislatif mengalami penguatan. Juga kekuasaan lainnya. Agar eksekutif tidak sendirian. Tidak berkuasa sendirian. Para wakil rakyat, meminjam lagunya Iwan Fals, tidak boleh seperti paduan suara yang hanya tahu nyanyian lagu "setuju".
Pascareformasi, kekuasaan daerah diperkuat dengan agenda otonomi daerah. Juga dengan berbagai kebijakan pemekaran. Agar kekuasaan dapat dipikul oleh banyak orang. Alih-alih hanya oleh segelintir elite saja.
Dan ini yang sangat penting, pascareformasi, kekuasaan eksekutif dibatasi secara waktu. Tidak hanya cuma berkuasa selama lima tahun, tetapi juga hanya boleh memimpin atau menjabat selama dua periode saja. Setelah itu gantian, memberikan kesempatan kepada yang lain untuk berkuasa.
Perihal pembatasan waktu ini penting, agar kekuasaan tidak menjadi mutlak dan dijalankan secara totaliter. Semakin lama seseorang berkuasa, maka semakin besar pula kekuasaan yang dimilikinya.
Semakin lama seseorang berkuasa, membuat kekuasaannya tidak lagi tunduk pada sistem. Tapi sebaliknya, sistem yang akan tunduk pada kekuasaannya.
Ini yang tidak boleh dilakukan di sebuah negara demokrasi, apapun alasannya. Yaitu memperpanjang kekuasaan eksekutif, pun dengan cara-cara yang demokratis. Ini juga yang menjadi kelemahan demokrasi, terkadang tidak bisa mencegah munculnya kekuasaan yang totaliter.
Dua periode masa jabatan presiden memang tidak cukup untuk merealisasi janji-janji politik, apalagi jika hanya 1 periode yang berdurasi 5 tahun saja. Masa jabatan tersebut lebih tidak cukup lagi jika untuk memenuhi nafsu berkuasa.
Itulah beda negarawan dengan politisi. Jika politisi masih berorientasi dengan kekuasaan, maka negarawan memfokuskan perhatiannya pada tujuan.
Tapi tidak ada yang salah dengan politisi. Kekuasaan memang orientasi mereka, baik dalam rangka merebut atau mempertahankan.
Keseimbangan justru muncul dengan sendirinya ketika dua aktivitas tersebut hadir secara seimbang, yaitu ketika ada kelompok yang merebut di satu sisi, serta mempertahankan kekuasaan di sisi yang lain.
Konflik jadinya memang akan muncul, tapi tidak masalah. Selama ada sistem yang mengatur konflik tersebut. Tentu sistem yang saya maksud adalah sistem yang bernapaskan keadilan.
Pembatasan memang sifatnya membatasi, semuanya jadi terbatas, tidak hanya kekuasaan pragmatis, tetapi juga kekuasaan idealis. Tapi pembatasan kekuasaan justru dapat menjaga agar kekuasaan idealis tidak berubah menjadi pragmatis.
(*Pemerhati Politik dan Isu Strategis)