GELORA.CO - Kenaikan harta kekayaan para pejabat negara di masa pandemi Covid-19 harus dijelaskan kepada publik untuk mengindari prasangka buruk. Sebab fenomena kenaikan harta kekayaan pejabat seperti para menteri hingga Presiden Joko Widodo berbanding terbalik dengan kondisi mayoritas masyarakat yang babak belur dihantam pandemi Covid-19.
"Mestinya para pejabat negara yang bersangkutan menjelaskan kepada masyarakat. Bagaimana rangkaian kenaikan kekayaan mereka bisa naik dalam situasi Covid-19 seperti sekarang. Mengapa?" kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima), Ray Rangkuti saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Selasa pagi (14/9).
Menurut Ray, kenaikan drastis harta para pejabat ini menimbulkan keheranan sekaligus kepiluan tersendiri bagi rakyat yang kesulitan akibat pagebluk Covid-19.
"Kenaikan sepihak ini bisa berujung pada kecurigaan dan kecemburuan sosial, juga akan berdampak pada menurunnya kepercayaan publik ke pemerintah," kata Aktivis 1998 ini.
Atas dasar itu, Ray menilai pejabat tinggi negara yang hartanya mengalami kenaikan drastis, apalagi yang melonjak hingga seribu persen harus menjelaskan kepada publik alur peningkatan kekayaan mereka.
"Maka, sekali lagi, para pejabat itu perlu segera menjelaskan alur logis peningkatan kekayaan mereka," pungkasnya.
Merujuk data LHKPN, banyak pejabat negara mengalami kenaikan harta di masa pandemi Covid-19 per 31 Desember 2020. Harta Presiden Jokowi mengalami kenaikan dari Rp 8.898.734.925 menjadi Rp 63.616.935.818; Menko Polhukam Mahfud MD dari Rp 1.316.032.120 berubah naik menjadi Rp 27.131.348.257; Menko Kemaritman dan Investasi Luhut B Pandjaitan dari Rp 67.747.603.287 menjadi Rp 745.188.108.997.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dari Rp 10.221.697.639 menjadi Rp 11.158.093.639; Menteri Keuangan Sri Mulyani dari RP 5.780.942.011 menjadi Rp 53.314.459.737; serta masih banyak pejabat yang mengalami kenaikan harta di masa pandemi Covid-19. [rmol]