GELORA.CO - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dicecar penyidik KPK perihal penyertaan modal bagi Sarana Jaya. Salah satunya disebut digunakan untuk pembangunan rumah DP Rp 0.
"Dikonfirmasi secara umum antara lain terkait dengan proses usulan anggaran untuk dilakukannya penyertaan modal APBD DKI Jakarta kepada Perumda Sarana Jaya. Di samping juga soal mekanisme pelaporan atas dilakukannya penyertaan modal tersebut," ucap Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (22/9/2021).
"Selain itu, saksi menerangkan mengenai salah satu penyertaan modal kepada Perumda Sarana Jaya yang diperuntukkan bagi pembangunan rumah DP Rp 0," imbuhnya.
Anies sendiri menjalani pemeriksaan sebagai saksi pada Selasa, 21 September kemarin. Selain Anies, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi diperiksa KPK sebagai saksi.
"Dikonfirmasi pada pokoknya antara lain terkait dengan bagaimana proses penganggaran oleh Banggar di DPRD DKI Jakarta yang diusulkan oleh Pemprov DKI Jakarta yang salah satunya digunakan untuk penyertaan modal ke Perumda Sarana Jaya," sebut Ali soal materi pemeriksaan untuk Prasetio.
Anies sendiri kemarin mengaku menjelaskan tentang program pengadaan rumah ke KPK. Perkara ini sendiri berkaitan dengan dugaan korupsi dalam pengadaan lahan di Munjul, Pondok Ranggon, Jakarta Timur.
"Ada delapan pertanyaan yang terkait dengan program pengadaan rumah di Jakarta," ucap Anies setelah menjalani pemeriksaan di KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (21/9/2021).
"Pertanyaan menyangkut landasan program dan seputar peraturan-peraturan yang ada di Jakarta," imbuhnya.
Dalam kasus ini KPK telah menetapkan lima tersangka. Mereka adalah:
1. Yoory Corneles Pinontoan sebagai Direktur Utama Sarana Jaya
2. Tommy Adrian sebagai Direktur PT Adonara Propertindo
3. Anja Runtuwene sebagai Wakil Direktur PT Adonara Propertindo
4. Rudy Hartono Iskandar sebagai Direktur PT Aldira Berkah Abadi Makmur
5. PT Adonara Propertindo sebagai korporasi
Sarana Jaya diketahui merupakan perusahaan properti berbentuk BUMD yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta. Sarana Jaya melakukan kegiatan di bidang penyediaan tanah, pembangunan perumahan, bangunan umum, kawasan industri, serta sarana-prasarana.
Dari penjelasan KPK, disebutkan awalnya Rudy Hartono Iskandar menawarkan tanah di Munjul, Pondok Rangon, ke Sarana Jaya, pada Februari 2019. Perusahaan tempat Rudy sebagai direktur, yaitu PT Aldira Berkah Abadi Makmur, diketahui juga bergerak di bidang kontraktor.
Tanah yang ditawarkan Rudy itu diatasnamakan Andyas Geraldo dan Anja Runtuwene dengan harga Rp 7,5 juta per meter persegi. Andyas diketahui sebagai anak dari Rudy.
Namun belakangan diketahui tanah yang ditawarkan kepada Sarana Jaya itu sebenarnya masih atas kepemilikan Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Carolus Boromeus. Baru sebulan setelah penawaran ke Sarana Jaya, yaitu Maret 2019, Anja mengajak Tommy Adrian menemui Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Carolus Boromeus.
Dalam pertemuan itu, ditandatangani perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tanah tersebut seluas 41.921 meter persegi dengan harga Rp 2,5 juta per meter persegi. Pihak Kongregasi lantas menerima uang muka pertama sebesar Rp 5 miliar.
Pada saat bersamaan, Yoory memerintahkan staf menyiapkan Rp 108,99 miliar sebagai pembayaran 50 persen atas tanah di Munjul yang ditawarkan Rudy dan Anja. Padahal saat itu belum dilakukan negosiasi harga antara Yoory Corneles Pinontoan dan Anja Runtuwene, yang mengklaim sebagai pemilik tanah.
Bulan berikutnya, yaitu April 2019, dilakukan penandatanganan PPJB antara Yoory dan Anja. Saat itu pula Yoory memerintahkan pembayaran Rp 108,99 miliar ke rekening Anja.
Di sisi lain, pada Mei 2019, Rudy dan Anja meminta Tommy mengirimkan Rp 5 miliar lagi ke Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Carolus Boromeus. Pembayaran itu sebagai uang muka tahap kedua.
Setelah semua proses itu, Sarana Jaya baru melakukan kajian usulan pembelian tanah yang ternyata diketahui lebih dari 70 persennya masih berada di zona hijau untuk RTH (ruang terbuka hijau). Artinya, tanah itu tidak bisa digunakan untuk proyek hunian atau apartemen.
Tak hanya itu, menurut KPK, berdasarkan kajian konsultan jasa penilai publik, harga taksiran tanah tersebut hanya Rp 3 juta per meter persegi. Jauh dari nilai yang ditawarkan ke Sarana Jaya, yaitu Rp 7,5 juta per meter persegi.
Meski begitu, pada Desember 2019, Sarana Jaya membayar Rp 43,59 miliar ke Anja sehingga total pembayaran adalah Rp 152,5 miliar. Pembayaran tetap dilakukan meskipun lahan itu tidak bisa diubah zonasinya ke zona kuning.
Dari total uang yang diterima itu, Rudy meminta Anja dan Tommy membayar BPHTB atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terhadap pengadaan tanah Pulogebang pada Sarana Jaya. Selain itu, uang dialirkan ke rekening perusahaan lain milik Rudy dan untuk keperluan pribadinya serta Anja.
Kasus ini lantas ditelusuri KPK, dan ditemukan 4 dugaan penyimpangan, yaitu:
- Tidak adanya kajian kelayakan terhadap objek tanah;
- Tidak dilakukannya kajian appraisal dan tanpa didukung kelengkapan persyaratan sesuai dengan peraturan terkait;
- Beberapa proses dan tahapan pengadaan tanah juga diduga kuat dilakukan tidak sesuai SOP serta adanya dokumen yang disusun secara backdate; dan
- Adanya kesepakatan harga awal antara pihak Anja Runtuwene dan Sarana Jaya sebelum proses negosiasi dilakukan.
Para tersangka yang dijerat itu diduga melakukan korupsi pengadaan tanah di Munjul, Pondok Rangon, Jakarta Timur, tahun anggaran 2019. Kasus dugaan korupsi ini mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp 152,5 miliar.
Mereka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Anggaran Triliunan Sarana Jaya
Di sisi lain, KPK menemukan fakta Sarana Jaya sebagai BUMD yang mendapat penyertaan modal dari Pemprov DKI. Berdasarkan lampiran daftar penyertaan modal daerah (PMD) dan investasi daerah lainnya tahun anggaran 2021 DKI Jakarta, Sarana Jaya mendapat PMD Rp 1.163.806.000.000 pada 2021.
Belakangan, Ketua KPK Firli Bahuri menyebutkan adanya temuan dua dokumen anggaran terkait Sarana Jaya. Dokumen pertama menyebut total anggaran yang diterima Sarana Jaya berjumlah Rp 1,8 triliun dan dokumen lainnya sebesar Rp 800 miliar.
"Jadi tentu itu akan didalami, termasuk berapa anggaran yang sesungguhnya diterima BUMD Sarana Jaya. Karena cukup besar yang kami terima info karena cukup besar angkanya sesuai dengan APBD itu ada SK Nomor 405 itu besarannya Rp 1,8 triliun," kata Firli dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (2/8).
"Terus ada lagi SK 1684 itu APBP 800 miliar, nah itu semua didalami," imbuhnya.
Saat ditelusuri lebih lanjut, ternyata Sarana Jaya pada 2019 mendapat PMD Rp 1,8 triliun. Hal itu tertera dalam lampiran VIII Perda DKI Nomor 8 Tahun 2018. Pada tahun itulah di mana terjadi pembelian lahan di Munjul, Pondok Rangon, Jakarta Timur, oleh Sarana Jaya yang kemudian diusut KPK karena diduga terjadi korupsi.[detik]