Oleh: Tony Rosyid
SELAIN senang menulis di jurnal ilmiah dan suka menulis di media soal politik, saya juga hobi menulis novel. Sudah dua kali menerbitkan novel, dan masih beberapa yang belum sempat diterbitkan.
Menulis novel, beda dengan menulis di jurnal ilmiah dan menulis di media atau media sosial. Di novel, ada fiksinya. Bahkan kadang dominan. Ada juga soal cinta dan hal-hal romantis sebagai bumbu cerita agar novel itu asyik untuk dibaca.
Dalam sebulan, jika lagi enggak ada kegiatan, saya bisa menyelesaikan satu buah novel. Duduk seharian di ruang perpustakaan, dalam sebulan novel bisa selesai. Apa rahasianya? Karena menulis novel enggak perlu data yang terlalu banyak, njelimet, dan lengkap.
Cukup buka file di kepala, mengingat lagi memori dan buka hasil bacaan masa lalu, bisa jadi bahan tulisan yang berlimpah. Enggak perlu terlalu butuh waktu untuk mencari informasi di media, buka puluhan buku dari berbagai teori, dan tak perlu cek lapangan. Dengan kekuatan imajinasi, ini cukup akan membantu melancarkan untuk menulis cerita.
Sampai-sampai ketika keluar ruang perpustakaan, istri nanya: nulis apa? Novel. Wajah istri terlihat cemberut. Kalau dijawab: nulis buku, wajah istri berseri. Kenapa? Sepertinya istri cemburu dengan cerita cinta yang ada di dalam novel. Ini beneran loh...
Membuat lirik lagu, sepertinya sama dengan menulis novel. Semakin berhasil membuat pendengar berkhayal, maka lagu itu akan semakin disukai. Tentu dengan aransemen musik yang enak.
Menulis lirik lagu, beda dengan membuat narasi politik. Lagu lebih sering bersifat imajinatif, sementara panggung politik itu riil. Dua dunia yang pasti berbeda.
Kalau ada politisi omongannya enggak sesuai dengan data lapangan, bicaranya tidak ada faktanya, maka ia mungkin sedang menulis lirik lagu. Ya, suka-suka dia. Mau berimajinasi atau berkhayal, enak-enak aja. Namanya juga menyanyikan lagu.
Hanya saja, publik heran dan akan bilang: ini orang nyanyi kok di tempat yang salah. Ya, pasti enggak enak didengar. Malah mengganggu banyak telinga dan bikin gaduh.
Kadang-kadang, ada orang yang enggak berhasil move on ketika alih profesi. Merasa masih menjadi penjual tahu keliling, padahal sudah jadi karyawan restoran siap saji. Masih teriak pakai toa. Tahu... Tahu... Tahu... Digoreng 500 rupiah... Teriak di restoran. Ya, semua orang yang ada di restoran ketawa.
Temen saya bilang: Koplak!
*(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)