GELORA.CO - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana, ikut bicara soal kapal perang dan coast guard China yang wara-wiri di laut Natuna Utara. Dia mengatakan, tindakan China itu tak melanggar hukum internasional.
Hal tersebut bukan tanpa sebab. Perairan itu, kata Hikmahanto, meski Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, tetapi berada di laut lepas. Wilayah itu, tidak tunduk pada kedaulatan Indonesia.
"Tindakan Kapal Perang China secara hukum internasional tidak melanggar hukum mengingat Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berada di laut lepas di mana wilayah ini tidak tunduk pada kedaulatan Indonesia," kata Hikmahanto dalam keterangannya, Sabtu (18/9).
Namun demikian, kata dia, tidak seharusnya kapal militer China berada di laut lepas kecuali sedang melakukan pelayaran untuk melakukan perlintasan. Ini mengingat kapal militer ditujukan untuk mempertahankan wilayah kedaulatan negara.
"Keberadaan kapal militer China kemungkinan untuk menandingi kapal-kapal perang Indonesia yang berada di laut lepas dalam rangka penegakan hukum di ZEE dan melakukan penangkapan atas nelayan-nelayan China," kata dia.
Hikmahanto mengatakan, para nelayan China dalam perspektif pemerintah China dinilai tidak melakukan illegal fishing mengingat mereka melakukan penangkapan ikan di traditional fishing ground berdasarkan klaim sembilan garis putus.
Dikutip dari sejumlah sumber, klaim sembilan garis putus ini didasarkan pada alasan historis. Padahal, secara hukum internasional tidak memiliki dasar. Klaim itu menyatakan hampir seluruh wilayah Laut China Selatan akan diklaim oleh China.
Hikmahanto menyatakan, bagi Indonesia, menghadapi intimidasi Kapal Perang dan Coast Guard China terhadap para nelayan di Natuna Utara tidak mungkin mengerahkan kekuatan angkatan laut ataupun melakukan pengusiran karena keberadaan kapal perang tersebut berada di laut lepas.
"Dapat dipastikan Kapal Perang dan Coast Guard China akan terus berlalu lalang hingga akhir zaman. Ini mengingat China tidak mau melepas klaim Sembilan Garis Putus yang sejak 2016 dinyatakan oleh Permanent Court of Arbitration sebagai tidak memiliki dasar berdasarkan UNCLOS," kata dia.
Lantas apa upaya yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia untuk menghadapinya?
"Mengerahkan Kapal-kapal Bakamla untuk memunculkan rasa aman dan ketenangan bagi para nelayan Indonesia dalam menangkap ikan di ZEE," kata Hikmahanto.
"Pemerintah juga perlu mendorong para nelayan untuk membanjiri dan mengeksploitasi ZEE di Natuna Utara dengan memberi subsidi dan insentif," pungkasnya.
Sebelumnya, nelayan di Natuna dibuat khawatir dengan keberadaan sejumlah kapal China yang berada di kawasan Laut Natuna Utara. Mereka kemudian memilih menjaga jarak agar tidak terjadi hal yang tak diinginkan.
Peristiwa itu, terjadi pada 13 September 2021. Nelayan Natuna yang tidak memiliki alat lengkap hanya bisa merekam momen kurang lebih 6 kapal China berada di perairan Indonesia menggunakan ponsel.
Mereka baru bisa melaporkan temuan itu kepada aparat setelah kembali ke daratan 2 hari setelahnya atau 15 September 2021. Salah satu yang mendapat laporan itu adalah mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. [kumparan]