GELORA.CO - Sejumlah Guru Besar mengomentari pemecatan terhadap 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan dalih tidak memenuhi syarat tes wawasan kebangsaan (TWK). Puluhan pegawai KPK nonaktif itu akan resmi diberhentikan pada 30 September 2021.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Sigit Riyanto meminta komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada komitmen pemberantasan korupsi.
“Presiden Jokowi punya kesempatan untuk menunjukkan komitmennya pada aspirasi publik dan menentukan sikap yang jelas bagi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata Sigit Riyanto dalam keterangannya, Kamis (16/9).
Senada juga disampaikan oleh Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Azyumardi Azra. Dia menyebut, jika Jokowi ingin meninggalkan positive legacy dalam pemberantasan korupsi, sepatutnya mengikuti rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM dengan melantik 75 pegawai KPK menjadi ASN.
“Kegaduhan politik agaknya dapat berlanjut dalam masyarakat jika Presiden Jokowi mengabaikan rekomendasi kedua lembaga resmi negara itu,” cetus Azra.
Sementara itu, Guru Besar FH Unsoed Prof Hibnu Nugroho menegaskan, Presiden Jokowi sebagai kepala Pemerintahan di dalam menangani masalah pegawai KPK, harus mampu mengambil kebijakan tepat. Dia tak menginginkan, alih status pegawai KPK merugikan yang dijanjikan.
“Harus diingat bahwa para pegawai KPK ini merupakan pegawai yang memiliki integritas dalam pemberantasan korupsi yang sangat luar biasa,” tegas Hibnu.
Dia meminta Jokowi untuk segera mengakhiri polemik TWK yang kini justru memecat 57 pegawai KPK.
“Kondisi seperti sekarang harus secepatnya diakhiri untuk mencegah munculnya kegaduhan diantara institusi negara, karena hal-hal tersebut akan sangat mempengaruhi trust politik
hukum pemberantasan korupsi di Indonesia,” cetus Hibnu.
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Guru Besar FH UNPAR Prof Atip Latipulhayat. Dia menyatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hanya menyangkut uji norma Undang-Undang KPK dalam menyelesaikan polemik TWK. Begitu juga putusan Mahkamah Agung (MA) hanya menyangkut uji formal dan material dari Perkom KPK.
Menurutnya, putusan tersebut tidak menyentuh atau terkait dengan maladministrasi sebagaimana rekomendasi dari Ombudsman RI dan juga tidak terkait dengan pelanggaran HAM sebagaimana hasil pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM. Dengan demikian, maladministrasi dan pelanggaran HAM terbukti terjadi dalam implementasi TWK, antara lain berupa pertanyaan-pertanyaan yang melanggar ranah privasi seseorang.
Oleh karena itu, baik rekomendasi Ombudsman maupun rekomendasi Komnas HAM harus segera ditindaklanjuti oleh Presiden selaku penanggung jawab tertinggi administrasi pemerintahan agar tercipta ketertiban dan kepastian hukum.
Selanjutnya, Guru Besar FH UNPAD Prof Susi Dwi Harijanti menyebut, dalam setiap negara hukum yang demokratis, setiap warga negara berhak untuk memperkarakan negara, baik dalam bentuk mengajukan keberatan ataupun bentuk-bentuk keberatan. Hal ini terjadi karena hubungan antara negara dengan individu atau warga negara dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan berpotensi menimbulkan ketidaksetaraan hubungan.
Dia mengutarakan, salah satu cara untuk menyeimbangkan melalui “voice”. Voice ini dapat bermacam-macam bentuknya, gugatan ke pengadilan; permohonan pengujian UU; mengajukan keberatan ke ORI, atau ke lembaga lain yang relevan, misal Komnas HAM.
Jika berpegang pada fungsi, tugas dan wewenang masing-masing lembaga dalam paradigma
yang lebih luas, Presiden tidak perlu menunggu putusan MK dan MA. Apalagi Presiden pernah mengeluarkan pernyataan bahwa TWK tidak boleh merugikan.
“Persoalan TWK masuk pada ranah pelayanan publik di bidang kepegawaian. Oleh karenanya masuk pada bidang hukum administrasi negara. Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan tertinggi merupakan pejabat administrasi negara tertinggi. Artinya, segala putusan dan tindakan Presiden sebagai pejabat administrasi tertinggi tunduk selain pada norma-norma hukum administrasi, juga tunduk pada asas-asas hukum administrasi negara,” harap Susi menandaskan.
Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan, pemecatan terhadap 57 pegawai KPK dilakukan, karena asesmen TWK telah dinyatakan sah dan tidak melanggar hukum berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 26 Tahun 2021 dinyatakan tidak diskriminatif dan konstitusional. Selain itu, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tatacara Alih Pegawai KPK menjadi ASN berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 34 Tahun 2021 dinyatakan bahwa Perkom tersebut konstitusional dan sah.
Mantan Kapolda Sumatera Selatan ini pun membantah, pihaknya mempercepat pemecatan terhadap Novel Baswedan Cs yang seharusnya pada 1 November 2021, kini maju pada 30 September 2021. Dia mengutarakan, pemecatan boleh dilakukan sebelum batas maksimal proses alih status rampung berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Oleh karena itu, Firli menegaskan pihaknya akan kembali menindaklanjuti asesmen TWK yang merupakan syarat alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
“KPK akan melanjutkan proses peralihan pegawai KPK jadi ASN. Karena masih ada hal-hal yang harus ditindaklanjuti sebagaimana mandat UU dan PP turunannya,” pungkas Firli.[jawapos]