Penulis: Asrizal Nilardin
(kumparan)
Setiap memasuki penghujung September, memori kolektif anak bangsa serempak mengingat kembali pada satu peristiwa pengkhianatan. Tak pernah terlupakan, kejamnya gerakan 30 September 1965 oleh PKI yang berusaha melakukan kudeta, bukan saja terhadap Bung Karno sebagai presiden dan selaku panglima besar revolusi, namun memiliki maksud utama untuk mengganti pancasila sebagai dasar negara.
Skema kudeta memang tidak menculik dan membunuh bung Karno. Melainkan menyingkirkan kekuatan penyokong bung Karno, yakni kekuatan TNI AD sebagai kekuatan sayap kanan. Sebagaimana yang digambarkan oleh Mahfud MD (1998), konfigurasi politik pasca-pemilu 1955 menyisakan PKI sebagai satu-satunya kekuatan politik yang paling eksis (walaupun hanya peraih suara terbanyak keempat), dan angkatan Darat sebagai kekuatan militer. Dua kekuatan ini adalah sayap penyangga kekuasaan bung Karno. Namun, Bung Karno mengetahui bahwa dua sayapnya itu saling berkonfrontasi dalam senyap. Dengan demikian bung Karno memanfaatkan keduanya untuk saling menekan kekuatan satu sama lain agar tidak muncul salah satu kekuatan dominan yang akan membahayakan kekuasaan bung Karno.
Di mata PKI, Bung Karno tanpa Angkatan Darat tidak ada apa-apanya. Kekuasaan bung Karno kuat karena ada Angkatan Darat. Maka PKI bersiasat untuk menjatuhkan Bung Karno, harus menyingkirkan kekuatan Angkatan Darat. Cara menyingkirkan Angkatan Darat ialah dengan membunuh 7 jenderal yang berpengaruh. Dengan begitu, Angkatan Darat akan kehilangan arah karena tiadanya pemegang komando. PKI telah menyiapkan Letkol Untung untuk mengambil alih komando Angkatan Darat.
Peristiwa keji itu berakhir dengan penculikan dan pembunuhan 6 Jenderal dan 1 perwira pertama TNI AD di lubang buaya. Gerakan itu memang telah direncanakan secara masif, hingga ditentukannya waktu 30 September 1965 sebagai momentum eksekusi.
Ingatan bangsa ini amat membekas dan menancap kuat tatkala memasuki tanggal 30 September. Setiap malamnya, secara rutin akan dilakukan pemutaran film G30S/PKI yang lazim ditonton secara massal. Selain sebagai edukasi sejarah terhadap generasi muda, hal itu juga dilakukan untuk selalu menyalakan kewaspadaan akan potensi serta ancaman kebangkitan PKI.
Pada momen peringatan tahun ini, ada penambahan komposisi peringatan peristiwa G30S. Mulai September tahun ini dan seterusnya, variasi peringatan menjadi "double tragedy". Selain dikenang sebagai peristiwa pembunuhan 6 jenderal dan 1 perwira TNI AD oleh PKI, 30 September juga akan dikenang sebagai momen pembantaian 56 pegawai KPK oleh pimpinan KPK.
Polemik yang berkepanjangan di tubuh KPK, berakhir dengan pemecatan 56 pegawai yang selama ini sudah mengabdi di KPK. Beberapa pegawai yang dipecat justru para pegawai senior yang lebih dulu memasuki lembaga anti-rasuah dan telah menangani banyak kasus-kasus korupsi kakap. Kehadiran mereka di KPK jauh sebelum hadirnya Firly Bahuri yang menjabat Deputi Penindakan KPK tahun 2018 silam.
Menguji komitmen Presiden
Dengan berbekal TWK yang sarat akan kejanggalan, pemecatan 56 pegawai telah ditetapkan oleh pimpinan KPK akan dilakukan secara resmi pada 30 September 2021. Tanpa memperdulikan rekomendasi dari Ombudsman RI dan Komnas HAM, pimpinan KPK bak penguasa tunggal menutup semua pintu usulan yang melawan keputusan tersebut. Bahwa keputusan untuk memberhentikan 56 pegawai, tak bisa lagi dibendung oleh lembaga apa pun termasuk presiden.
Secara normatif, kedudukan KPK sebagai bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif, dikuatkan lagi dengan perubahan status pegawai yang menjadi ASN, maka posisi KPK dibawahi langsung oleh Presiden sebagai kepala kekuasaan eksekutif. Maka tindakan korektif oleh Presiden sangat bisa dilakukan terhadap kebijakan atau keputusan pimpinan KPK yang merugikan kepentingan pemberantasan korupsi sebagai agenda strategis negara. Apalagi tindakan korektif dilakukan dengan alasan adanya cacat prosedural berdasarkan hasil temuan Ombudsman RI, serta adanya 11 pelanggaran HAM yang dilakukan selama TWK berdasarkan hasil temuan Komnas HAM.
Komitmen presiden jokowi terhadap pemberantasan korupsi telah benar-benar diuji. Komunikasi diplomatis dan populis tidak cukup dilakukan untuk mengirim sinyal seolah berpihak kepada publik dalam "mengecam" pemecatan pegawai KPK dengan dasar TWK. Masih tersebar di berbagai platform medsos, pesan gagah presiden jokowi dalam merespons tindakan otoriter pimpinan KPK. Singkatnya, beliau menyerukan agar TWK jangan dijadikan dasar untuk memecat para pegawai yang telah mengabdi di KPK.
Secara resmi, pernyataan tersebut merupakan perintah tidak langsung kepada pimpinan KPK. Akan tetapi, pimpinan KPK tidak menindaklanjutinya dan mengabaikan perintah presiden sebagai kepala eksekutif. Terkesan semu, komitmen pemberantasan korupsi presiden jokowi masih seputar retorika. Hal itu juga diperkuat dengan ketiadaan langkah konkret presiden Jokowi untuk menyelamatkan KPK. Begitu juga sikap presiden yang kini gamblang terlihat hendak melepas tangan dengan narasi "jangan seret presiden soal TWK".
Memperingati G30S Pimpinan KPK
Dengan berbagai fakta yang ada, pemecatan 56 pegawai KPK sudah tidak mampu dibendung. Agenda pemecatan telah dilakukan secara TSM. 30 September 2021 akhir dari nasib 56 pegawai KPK. Bukan saja mereka yang dibantai, namun komitmen pemberantasan korupsi para pejabat negara kita juga ikut mati. Maka, pilihan setengah waras pimpinan KPK atas tanggal 30 September 2021 harus dicatat sebagai peristiwa bersejarah yang akan selalu kita peringati bersamaan dengan G30S/PKI.
Guna mempermudah ingatan kita semua atas peristiwa ini, pemecatan 30 September 2021 harus kita peringati sebagai peristiwa G30S Pimpinan KPK. Barangkali, dengan cara memperingatinya setiap 30 September, memori kolektif anak bangsa akan merekam, bahwa pernah ada serangkaian peristiwa pelemahan terhadap KPK dan usaha pembunuhan terhadap komitmen pemberantasan korupsi dengan memecat orang-orang berintegritas dan berdedikasi tinggi di KPK yang dilakukan oleh pimpinan KPK.
Waktu yang dipilih oleh pimpinan KPK menggambarkan ada keterkaitan antara Gerakan 30S/PKI dengan Gerakan 30S Pimpinan KPK. Usaha membangun stigmatisasi terhadap 56 pegawai tak lolos TWK barangkali siasat mempersonifikasi mereka dengan bentuk pengkhianatan PKI. Pimpinan KPK sedang mencoba membangun pembunuhan karakter terhadap 56 pegawai yang dipecat. Dengan memecat mereka pada 30 September, maka mereka seolah pengkhianat negara layaknya PKI.
Namun, usaha membangun persepsi negatif publik terhadap 56 pegawai KPK tersebut lebih mudah ditangkap sebagai keadaan yang berkebalikan. Lebih mudah dipahami secara sadar dan presisi bahwa 56 pegawai yang akan dipecat pada 30 September adalah korban dari gerakan 30 September yang dilakukan oleh pimpinan KPK (tragedi G30S/Pimpinan KPK). (*)