GELORA.CO - Cemoohan yang dilontarkan Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin kepada Menko Ekuin era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli berbanding terbalik dengan pencitraannya saat tampil di media.
Di media, Ngabalin selalu menekankan agar masyarakat Indonesia menggunakan diksi yang baik dan sopan. Sementara cemoohan yang disampaikan melalui akun Twitter pribadinya tidak sopan bahkan kasar. Sebab dia menggunakan kata-kata kotor dan kata perikebinatangan.
Begitu tegas pengamat kebijakan publik, Syafril Sjofyan kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin petang (13/8).
Jika diamati, sambung Syafril Sjofyan, Ngabalin bukan orang yang tidak beretika atau orang tak berpendidikan. Namun hal itu bertolak belakang ketika dia mengeluarkan kata-kata kotor.
“Kasus ini bisa jadi bergejala sindrom kejiwaan. Sindrom ini hanya menyerang satu dari ratusan orang. Kondisi kompleks yang memengaruhi kondisi fisik dan sosial penderitanya,” duga Syafril Sjofyan.
Aktivis Pergerakan 77-78 ini menduga, Ngabalin seperti orang yang bernafsu menjadi pejabat tinggi. Sementara fakta membuktikan bahwa kedudukan yang didapat hanya alang-alang saja.
“Jika diamati dalam setiap diskusi di media selalu menyerang dengan cara “merasa paling benar” dan cenderung sangat sombong, sok kuasa dan tidak tahu aturan. Berbicara dengan mencerocos tanpa peduli waktu diskusi bukan miliknya,” urainya.
Di saat diskusi, Ngabalin juga sering menyatakan kepada pihak lawan diskusi agar menggunakan diksi sopan dan beretika. Tapi sebaliknya dia merasa berjaya menggunakan diksi kotor dan kasar dalam menyerang lawannya.
Syafril Sjofyan menyebut perilaku ini sebagai tanda-tanda depresi mental atau sindrom tourette. Sering dianggap sebagai penyakit yang "tidak tampak". Penderita penyakit ini sering berjuang sendirian dalam sunyi di balik pintu yang tertutup.
Katanya, orang yang menderita gangguan jiwa menyadari bahwa kondisinya dapat memengaruhi orang-orang di sekitarnya.
“Karena stigma yang melekat kuat pada gangguan jiwa, seseorang biasanya takut mengakui sikap kasar mereka itu karena penyakit yang dideritanya,” sambung Sekjen Forum Komunikasi Patriot Peduli Bangsa (FKP2B) itu.
Jika benar Ali Ngabalin menderita depresi tersebut, maka sangat disayangkan pihak istana menggunakan orang yang cenderung berbahaya ini.
“Perilaku ini mirip sejumlah elite buzzer. Coba amati Ferdinand Hutahean dll,” tutupnya. [rmol]